JEJAK REMPAH DAN ARUS BUDAYA NEGERI LUHU, HUAMUAL
KRU BREAK :
Selain itu, ada salah satu tradisi masyarakat Negeri Luhu
pada saat akhir bulan ramadan yakni Ujung
Tobu atau dengan Bahasa Negeri Luhu yakni Tehununa. Ujung Tobu
adalah suatu bentuk penghormatan terhadap keagungan bulan ramadan dengan cara
menggantung apa saja yang dianggap atau ditetapkan oleh masyarakat Negeri Luhu.
Barang-barang yang digantung mewakili perasaan suka cita dari mereka ketika
menyambut saat tersebut. Ujung Tobu
ini dilakukan pada saat malam 7 likur (malam ke-27 pada bulan ramadan). Pada
saat itu, masyarakat Negeri Luhu beramai-ramai membuat Ujung Tobu dan pada umumnya mereka menggunakan gaba-gaba atau pelepah pohon sagu sebagai alat untuk menggantungkan
barang-barang. Tujuan dibuatnya Ujung
Tobu adalah karena pada kampung-kampung tetangganya membawa ketupat pada
malam tersebut, tetapi untuk di Negeri Luhu dibuat Ujung Tobu.
Penghasil buah pala di
Indonesia pertama kali ditemukan ada di kepulauan Banda, Maluku. Namun, dalam
artikel ini penulis akan membahas buah pala yang ada di Pulau Seram tepatnya di
Negeri Luhu. Negeri luhu dikenal akan cengkeh yang melimpah dan kualitas yang
bagus, bukan hanya cengkeh saja Negeri Luhu juga menghasilkan buah pala.
Penanaman buah pala dan cengkeh pada umumnya sama, namun penanaman cengkeh
lebih mudah dibandingkan pala ujar masyarakat setempat. Karena pala memiliki
tingkat keberhasilan yang kurang stabil, bisa dikatakan 100 buah pala yang
ditanam hanya 50 diantaranya yang hidup/berbuah. Memasarkan
sebuah produk tidak semudah dibayangkan, kita harus mengetahui produk apa yang
akan diproduksi, bagaimana memproduksinya dan untuk siapa produk tersebut
diproduksi. Ada beberapa strategi yang harus kita lakuan salah satunya yaitu
strategi empat p (produc, price, place, promotion).
Promosi
(promotion), Promosi juga sangat berpengaruh
dalam memasarkan suatu produk. Karena dengan tahap promosi lah kita bisa
memperkenalkan produk kita dengan masyarakat. Namun promosi yang bagaimana
dulu. Mempromosikan produk banyak cara yang dilakukan baik melalui mulut ke
mulut, iklan, media dan lain-lainBerikut gambaran umum
memasarkan produk dengan menggunakan strategi empat p untuk asumsi yang akan datang. Produk
(product); Dalam hal ini kita sudah mengetahui
produk apa yang akan kita produksi. Produk yang akan kita produksi yaitu buah
pala. Dunia sekarang ini sudah sagat canggih, kita bisa menggunakan teknologi
yang bisa menunjang kegiatan produksi produk kita. Biasanya buah pala digunakan
untuk msakan, manisan dan sebagainya. Jadi, dengan menggunakan teknologi, maka
msyarakat negeri luhu bisa langsung memproduksi bahan mentah menjadi bahan
jadi. Dan langsung menjual produk jadi tersebut bukan bahan mentah lagi.
Berbicara mengenai Demokratisasi Ekonomi di Negeri Luhu, tentu saja
tidak akan pernah lepas dari hal penguasaan ataupun pendayagunaan kearifan
lokal (local wisdom), terutamanya
Sumber Daya Alam (SDA). Kearifan lokal seperti rempah-rempah, baik itu pala,
cengkeh dan lada, sudah menjadi andalan SDA negeri ini sejak ratusan tahun yang
lalu. Kondisi tanah dan iklim yang cocok, membuat tanaman rempah-rempah ini
tumbuh subur di negeri ini sepanjang tahun, yang dimana membuat rempah-rempah
ini menjadi salah satu mata pencaharian pokok rakyat Luhu sampai sekarang. Akan
tetapi perlu disikapi bahwa local wisdom
di Luhu tidak hanya terbatas pada hasil rempahnya saja.
Negeri Luhu merupakan
pusat bagi anak-anak desa negeri luhu untuk menjual komoditi baik hasil hutan
maupun laut luhu. Hasil-hasil ini bukan berarti tidak dijual di kota besar
seperti ambon. Dalam hal penjualan hasil alam, beberapa anak desa luhu banyak
yang singgah dan melakukan transaksi di pelabuhan, transaksi ini tidak dalam
jumlah besar, ketika akan menjual dalam jumlah besar mereka akan langsung
mengirim ke kota besar untuk mendapatkan harga yang lebih. Namun, hal ini
secara tidak langsung melekat dalam memori setiap masyarakatnya untuk tidak
langsung menjual ke ambon. Tetapi mereka lebih mengutamakan menjual hasil bumi
huamual ke ibukota negeri luhu, ketika tidak habis barulah dijual ke ambon
dalam artian yang dapat kita tangkap hasil dalam jumlah besar akan dibawa
keluar. Hukum jual beli ini tidak lah tertulis secara langsung, secara sadar
mereka tetap melakukan hal ini secara terus menerus.
Setelah berkeliling
untuk melakukan riset dari berbagai hal, baik itu dari segi sejarah, ekonomi
dan hasil rempah, budaya, agama, bahasa dan lain sebagainya saya tertarik untuk
menulis objek wisata dan situs sejarah di Negeri Luhu. Pada kesempatan kali
ini, tulisan saya akan membahas tentang tempat-tempat yang harus dikunjungi
ketika kalian ke Negeri Luhu. Beberapa diantaranya adalah: Gua Tujuh Pintu, Gunung Malintang, Benteng Overburg, Rumah Raja
Palisoa, Makam Raja Gimalaha Tuban, Pantai Selahuse dan Batu Kapal. Beberapa
obyek yang disebutkan tersebut, merupakan potensi lingkungan dan budaya yang
layak dikembang dan dikelola sebagai obyek ekowisata tourism dan wisata budaya
yang ramah lingkungan di masa yang akan datang.
Negeri
Luhu sebagai pusat Kerajaan Huamual pada masa lalu, merupakan sebuah negeri di wilayah Pulau Seram, Maluku memberikan
pelajaran penting tentang dinamika peradaban dan budaya di Nusantara. Dalam
arus sejarah dan budaya, Negeri Luhu memberikan gambaran potensi sebuah wilayah
dengan kekayaan maritim dan agrarisnya. Sejarah membuktikan, bahwa Negeri Luhu,
memiliki peran penting sebagai penghasil rempah-rempah, yang menyebabkan
pertemuan berbagai bangsa asing seperti Cina, Arab dan Eropa serta pedagang
nusantara,
Jawa dan Sumatra, selain berhubungan pula dengan pusat kekuasaan Ternate dalam
jaringan niaga di wilayah Kepulauan Maluku dengan wilayah luar.
Abdul
Kadir, Abdul
Munib, Alwan
Umasugi, Apri
Pujiontama Purba, Kurnia
Aditama Nugroho, Lalu
Al Akmam, Reti
Suhana, Rizky
Meinisa, Shelly
Tsaniah, Sulaiman
Panji, Sumi
Maryani, Tofan
Gayum Rumaf, Wahyu
Aditya Fernanda, Wahyuni
Aihua, Yusli
"SERAM SQUAD"
Pak Budi, Pak Ical, Pak Wuri, Bang Bily, Bang Jaiz, Bang Ata, Kak Sarah
Mereka ialah Orang Tua, Wali, Pengawas, Pembimbing, Abang sekaligus Teman bermain, berpetualang, teman jalan
mereka dari sekian orang-orang biasa yang memiliki jiwa dan semangat serta karya luar biasa
TIM EKSPEDISI JALUR REMPAH NEGERI LUHU
DIREKTORAT SEJARAH, DIREKTORAT JENDRAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
MALUKU, 2017
PENDAHULUAN
Kejayaan kemaritiman
Indonesia pada masa lampau seperti pada masa tumbuh dan berkembangnya kerajaan
Sriwijaya sampai dengan terbentuknya kerajaan Ternate-Tidore. Kemaritiman
tersebut dilihat dari aktivitas masyarakat terhadap laut, pelayaran,
perdagangan, pelabuhan, dan komoditas rempah-rempah. Sehingga, banyak bangsa
pendatang yang memasuki wilayah Indonesia. Kepentingan bangsa pendatang masuk
ke Indonesiapun bermacam-macam, karena perdagangan, politik, penjelajahan, dan
sebagainya. Bangsa pendatang tersebut seperti bangsa Portugis, Spanyol, dan
Belanda. Pelabuhan
Ternate-Tidore, Makian dan Bacan dikunjungi para pedagang Nusantara, Jawa dan
Melayu serta pedagang-pedagang Cina, Gujarat dan Arab.
Pada 1320, misalnya, telah menetap
di Ternate pedagang-pedagang Jawa, Melayu, Cina dan
Arab. Hal yang sama juga terjadi di
Tidore dan Makian.
Demikian pula, Kerajaan Huamual, merupakan salah satu kerajaan yang pada
masa lalu sebagai salah satu kerajaan yang terkenal sebagai kerajaan maritim,
terletak di pesisir pantai bagian barat Pulau Seram. Kerajaan Huamual merupakan sebuah
negeri yang telah memiliki konsep kenegaraan karena memiliki rakyat yang besar,
memiliki wilayah teritorial, sistem pemerintahan, lambang dan bendera kerajaan.
Kata Huamual secara bahasa berasal dari dua kata, yaitu; Hu Yang artinya Dia dan Mual yang artinya pertama, demikian secara istilah HUAMUAL berarti “Dia Yang Pertama”. Kerajaan Huamual, berdiri pada tahun 1256
dengan demikian memiliki kekuasaan
terbentang dari ujung selatan seram barat yaitu tanjung sial menuju utara, tanah genting kota nia yang disebut “Jazirah Huamual”termasuk didalamnya
pulau buano, kelang, dan pulau manipa (Sumber: dok. Negeri Luhu, 2017).
Sebelum kedatangan bangsa
portugis, spanyol dan Belanda Negeri Luhu berada dalam bingkai kerajaan Huamual
dari 99 Negeri di semenanjung Jazirah Huamual. Perang Huamual berkobar di tahun
1602-1651 (50 Tahun Perang Huamual) telah membumihanguskan 98 negeri dan tinggal satu-satunya negeri
yaitu Negeri Luhu sebagaimana yang dituangkan dalam bahasa Huamual yang
sekarang ini menjadi bahasa adat Luhu dan sering dipakai dalam upacara adat
(ritual adat) disaat pelantikan raja atau Upulatu Luhu. (Sumber: dok. Negeri Luhu, 2017).
Kedatangan bangsa Eropa
di Indonesia pada awalnya adalah kepentingan ekonomi atau perdagangan. Di Eropa
iklim saat itu sangat dingin sehingga kebutuhan rempah-rempah yang mampu
menghangatkan tubuh khususnya yang ada di daerah Maluku sangat dicari. Apalagi
pada saat itu pusat perdagangan dunia yang ada di konstatinopel mengalami
pemboikotan bagi bangsa Eropa. Melihat kebutuhan komoditas rempah-rempah sangat
tinggi, para penjelajah Eropa harus mengarungi samudera dan laut yang sangat
luas yang kemudian akhirnya menemukan daerah Maluku. Para petani cengkeh, pala,
lada yang ada di Maluku menjadi sejahtera karena banyak pasokan rempah-rempah
yang harus disiapkan. Masyarakat yang terkait yaitu pada daerah Maluku,
khususnya di negeri Luhu. Komoditas rempah-rempah yang ada di negeri Luhu
antara lain: Cengkeh, Pala, Lada, dan Sagu. Kecakapan masyarakat lokal dalam
memanfaatkan lahan dan sumber daya alam rempah-rempah menjadi sebuah tonggak
kehidupan yang makmur. Kedatangan penduduk asing yang berinteraksi dengan
penduduk lokal mampu membangun sebuah hubungan
politik, hubungan dagang maupun hubungan kekerabatan yang cukup erat melalui
perkawinan dengan masyarakat di Huamual, Negeri Luhu.
Jaringan perdagangan masa lalu telah
menempatkan rempah-rempah sebagai komoditi utama, yang telah ada sejak awal
masehi dengan adanya kontak antara pedagang nusantara dengan pedagang Cina,
Arab dan India. Jaringan perdagangan rempah-rempah ini kemudian semakin ramai
dengan kedatangan bangsa Eropa sekitar abad ke-16, ditandai dengan penguasaan atas
Malaka – salah satu bandar penting dalam jaringan perdagangan Asia Tenggara –
pada tahun 1511 oleh bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Eropa ke kawasan Asia
tidak lepas dari keberhasilan bangsa Portugis menemukan jalur pelayaran yang
menghubungkan daratan Eropa dan Asia melalui Afrika (Bachri, 2009: 1 dan 37;
Sutherland, 2004: 5 dan 7-8). Jalur pelayaran inilah yang kemudian menjadi
jalur alternatif jaringan perdagangan dunia yang sebelumnya merupakan jalur
darat. Dengan demikian, dalam konteks perdagangan rempah-rempah, khususnya bagi
bangsa Eropa telah terbentuk jaringan yang langsung menghubungkan Asia Tenggara
khususnya Kepulauan Nusantara sebagai produsen utama rempahrempah dan Eropa
sebagai konsumen.
Dalam
jaringan perdagangan masa lalu, wilayah Huamual
adalah salah satu titik niaga penting bagi perdagangan rempah-rempah di
Maluku. Sekitar abad ke-16 hingga abad ke-17, wilayah ini dikenal sebagai pusat
penghasil cengkih terbesar di Maluku bagian tengah. Sumber-sumber sejarah
bahkan menyebut bahwa wilayah ini merupakan pelabuhan cengkih yang ramai
dikunjungi oleh pedagang-pedagang nusantara, dan juga pedagang-pedagang Eropa.
Hingga awal abad ke-17, sebelum perdagangan cengkih jatuh di tangan para
pedagang Belanda (melalui kongsi dagangnya yaitu Vereenigde Oostindische
Compagnie), di Kambelo yang merupakan salah satu kota pelabuhan di Huamual
terdapat kantorkantor perwakilan Dagang Inggris dan Denmark. Peran Huamual
kemudian runtuh di tangan VOC setelah keberhasilan mereka meredam perlawanan
penguasapenguasa lokal di Huamual. Tidak hanya
itu, VOC bahkan menghancurkan pusat-pusat
produksi cengkih dan merelokasi penduduk Huamual serta memindahkan pusat
produksi cengkih ke wilayah lain yaitu di Kepulauan Lease.
Sebagai daerah penghasil cengkih pada
masa itu, Huamual menjadi salah satu wilayah yang menjadi incaran VOC dalam
upaya mereka menguasai perdagangan rempah-rempah. Salah satunya melalui ekspedisi Hongitochten
yaitu menghancurkan pohon-pohon cengkih di wilayah ini. Selain itu, VOC juga
menutup akses pedagang-pedagang Nusantara menjalin hubungan perdagangan dengan Huamual.
Hal ini kemudian menimbulkan perselisihan antara VOC dengan masyarakat Huamual
yang akhirnya mengakibatkan sebuah konflik yang dikenal dengan Perang Huamual.
Masyarakat Huamual dibantu oleh para pedagang Nusantara membangun pusat-pusat
pertahanan di Jasirah Huamual.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Kerajaan Huamual
: Aspek Sejarah dan Perkembangan Tradisi
Sejarah dan Bukti-Bukti Tinggalannya
Sebelum kedatangan
bangsa-bangsa asing seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda,Negeri Luhu berada
dalam bingkai kerajaan Huamual yang terdiri dari 99 negeri yang berada di
semenanjung Jazirah Huamual yang terbentang dari Tanjung Sial hingga tanah
genting kota Nia termasuk di dalamnya pulau Buano, Kelang, dan pulau Manipa.
Pada bagian utara berbatasan dengan Negeri Piru dan Tanunu, bagian barat
berbatas dengan laut, timur bagian depan berbatasan dengan laut menghadap pulau
Ambon dan selatan berbatasan langsung dengan laut di Maluku Utara (Ternate).
Dengan pusat pemerintahannya yakni Luhu dan Kambelo.
Kerajaan Huamual
merupakan sebuah kerajaan besar yang telah memiliki konsep kenegaraan, memiliki
rakyat yang besar,memiliki wilayah teritorial yang luas, dilengkapi dengan
sistem pemerintahan, lambang kerajaan, dan bendera kerajaan. Secara bahasa kata
Huamual Berasal dari dua kata, yaitu: Hu yang
artinya Dia dan Mual yang artinya pertama,
jadi istilah Huamual berarti “Dia yang pertama”. Kerajaan ini dirikan pada
tahun 1256 oleh Upu Latu Sialo.
Gambar 1. Bendera dan
Lambang Kerajaan Huamual
Menurut sejarawan G. E
Rumphius dalam catatannya, bahwa sebelum kedatangan bangsa-bangsa colonial ke
Maluku, ada beberapa Kimelaha/Gubernur yang pernah memimpin masyarakat di
pulau-pulau selatan yang dikendalikan langsung oleh Jou Gugu atau Kimelaha di
Huamual, diantaranya yaitu gubernur Huamual Kimalaha Lautala (1558-1585),
gubernur Huamual Kimalaha Robohongi (1585-1599), gubernur Huamual Kimalaha Besi Frangi
(1599-1611), gubernur Huamual Kimalaha Sabadin (1611-1619) Jou Gugu Huamual
Kimalaha Hidayat (1620-1623) gubernur Huamual Kimalaha Liliato (1623-1638) dan kimalaha terakhir pemberontakan melawan
VOC/Belanda dalam perang terakhir Huamual adalah Kimalaha Madjira (1651-1658).
Jatuhnya kerajaan Huamual melawan VOC/Belanda menandakan berakhirnya perang di
Maluku. Adapun bangsa-bangsa Eropa yang pernah berkuasa di Huamual diantaranya
yaitu:
1.
Masa kekuasaan Portugis 1512-1609
Ketika Alfonso de
Albuquerque menaklukan malaka pada tahun 1511, ia mengirim laporan kedapa raja
Portugis, Joa O II bahwa pulau rempah telah ditemukan. Selanjutnya De
Albuquerque mengirim Antonio de Abreu dan fransisco Serrau, pada 11 november
1512 menuju Maluku. Mendengar kedatangan bangsa asing itu di Hitu, Sultan
Bolief memerintahkan pangeran Juliba menjemput Fransisco Serrau untuk dibawa ke
Ternate. Koalisi ternate portugis pun terbangun dan ternyata memberi perubahan
terbesar di Timur. Koalisi itu pun mempengaruhi peta kekuasaan di Luhu dan
Huamual.
2.
Masa kekuasaan Belanda (1605-1945)
Pada tahun 1598
ekskader Belanda dipimpin oleh Jacob Van Warwijck dan Jacob Van Hemskerck yang
ditugaskan mencari jalur pelayaran menuju pulau rempah. Jacob Van Hemskerck
tiba di Hitu dan diterima oleh kapitan Hitu. Wijbrand van Warwijck meneruskan
pelayaran ke Ternate untuk bertemu dengan Sultan Said selanjutnya pada Tahun
1599 Steven Vander Haghen juga tiba di Hitu, ia mendapat izin mendirikan castle
van Verre (benteng jauh) di Hila-Kaitetu. Pada tahun 1600 Jacob Van Neck tiba
di Hitu kesepakatan pun di bangun, Belanda bebas dari pajak dan biaya Bandar
dagang, Huamual dan Hitu mendapat bantuan penuh untuk mengusir portugis dari
wilayahnya.
Empat tahun setelah
kedatang Jacob Van Neck, hubungan peyaran menuju Huamual dan Hitu mulai lancar,
para pemimpin itu pada tahun 1604 mengirim putra dari kapitan Hitu Tepil, hukum
Ariguna/Mihirdjiguna ke Batavia ipar dari kimalaha Luhu dan Patihalia dikirim
ke Batavia untuk meminta bantuan Belanda mengusir Portugis yang baru saja
mendirikan benteng di Hitu kemudian pindah ke Leitimur (Laha), negeri
Lama-Martafons kemudian menetap menjadi benteng Victoria di Ambon tepat pada 23
February 1605, Steven van der Haghen kembali ke Hitu. Dua hari kemudian, pada
25 february 1605, Kapitao Benteng Gaspar
De Mello menyerah kepada Belanda. Maka berakhirlah masa kekuasaan
portugis di Maluku dan tamatlah riwayat portugis di selatan, kemudian kekuasaan berpindah ke tangan
VOC/Belanda.
Dilatarbelakangi oleh
ketamakan VOC/Belanda yang mengendalikan perdagangan Cengkeh di Maluku yang
berpusat di Huamual pada akhirnya memicu kemarahan rakyat Huamual. Sehingga
muncul gejolak masyarakat yang digerakan akibat ketidakadilan terhadap rakyat
Huamual. mengakibatkan meletusnya perlawanan rakyat Huamual dengan VOC/Belanda yang dikenal sebagai
perang Huamual yang merupakan salah satu perang terbesar melawan VOC/Belanda
yang pernah terjadi di Maluku.
Sejak masa pemerintahan
Gubernur Van Diemen serta gubernur Jan Pieters Coen dan yang terakhir gubernur
Arnold De Vlamingh Van Oudshoorn pada periodesasi (1655-1661) merupakan
gubernur VOC/Belanda yang paling kejam, dalam masa jabatannya tersebut mengakibatkan sedikitnya sekitar 50.000 jiwa tewas,
dan dihancurkannya kehidupan masayarakat di Huamual. Para gubernur itu
menggunakan kekerasan untuk monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku,
terkhusus di Huamual.
Negeri-Negeri yang ada
di kerajaan Huamual dibumihanguskan oleh mereka, sehingga rakyat kehilangan
mata pencaharian, kehilangan tempat tinggal sehingga banyak dari mereka
dibiarkan memilih pindah dari tanah airnya, pindah dari agamanya atau dibunuh
dan akhirnya mati kelaparan. Pemerintah kerajaan Belanda, lebih mengutamakan
hasil rempah-rempah (cengkeh) sehingga VOC /Belanda melakukan pembantaian
puluhan ribu rakyat Huamual serta pendeportasian rakyat dari tanah airnya
hingga mengakibatkan kesengsaraan rakyat Huamual. Dibawah pimpinan kimalaha
Madjira (1651-1656), yang diangkat menjadi kimalaha yang berpusat dikota Luhu
pada waktu itu, menolak menghancurkan bagian dari perkebunan cengkih yang masih
muda milik rakyat dan bersama rakyat Luhu melakukan perlawanan terhadap
VOC/Belanda. Negeri Luhu pada akhirnya mampu bertahan dan menjadi satu-satunya
negeri yang tersisa dari total 99 negeri yang ada di kerajaan Huamual.Setelah
perang huamual, cengkeh di Huamual ditebang semuanya dengan tujuan monopoli dan
mengontrol harga cengkeh, kemudian ditanam kembali dipulau Ambon, Haruku,
Saparua, dan Nusalaut dengan pengawalan pasukan VOC/Belanda.
Bukti-bukti tinggalan sejarah (arkeologis) antara lain yang paling
dikenal oleh masyarakat adalah Situs Benteng Overburg yang dibangun kembali
oleh Belanda pada tahun 1644. Pada awalnya difungsikan sebagai loji, tempat
penyimpanan atau gudang rempah. Sementara itu Situs Goa Pintu Tujuh merupakan pangkal pemikiran sejarah
yang dapat dijadikan tolak ukur dalam mencari fakta berupa keterangan kaitanya
dengan rempah-rempah yang terdapat di Luhu. Dengan ditemukannya goa pintu tujuh
yang apabila dikaitkan dengan temuan arkeologi dan karaksteristik goa itu
sendiri maka akan muncul suatu gambaran terkait jejak rempah yang perna ada di
negeri Luhu.
Gambar 2. Goa Pintu Tujuh
Dalam catatan sejarah dari tutur rakyat negeri Luhu
menyebutkan bahwa Luhu merupakan sumber rempah-rempah yang yang pertama. Gua
alam yang terdapat di Negeri Luhu atau yang biasa disebut oleh gua pintu tujuh
oleh masyarakat setempat merupakan suatu bukti fisik yang menjelaskan bahwa
dulunya tempat tersebut memiliki kemungkinan perna menjadi tempat perniagaan
rempah-rempah oleh kerajaan Huamual dengan kerajaan china. Asumsi ini didukung
oleh beberapa temuan arkeologi berupa
geraba dan keramik yag berasal dari China, sehingga ini juga bisa menjadi bukti
bahwa dulunya perna ada transaksi niaga dikawasan goa pintu tujuh. Transaksi
tersebut diperkirakan sebagai prosesi barter rempah yang ditukar dengan keramik
oleh kerajaan Huamual dengan Kerajaan China.
Menurut Wuri Handoko (2014) Temuan keramik beberarapa diantaranya
menjadi koleksi penduduk, selain temuan dalam bentuk pecahan yang ditemukan
dipermukaan tanah pada situs-situs yang disurvey. Temuan keramik koleksi
penduduk merupakan wadah yang dipergunakan sehari-hari antara lain jenis
mangkuk besar, mangkuk kecil, dan piring
serta cawan. Warna galsir pada umumnya
putih kebiru-biruan warna bahan
putih keabu-abuan dengan motif hias flora berwarna biru. Jenis keramik ini berasal dari China
kemungkinan pada masa dinasti ming ( Abad 16-17) dan Qing (17-19 M).
Tradisi
Adat Oholangka: Pencak Silat Dari Negeri Huamual
Salah satu kebudayaan adat yang masih ada dan terjaga sampai
saat ini adalah Oholangka, atau yang
lebih dikenal sebagai Pencak Silat asli dari Luhu. Oholangka atau bisa disebut juga Aho’olangka, berasal dari dua kata dalam bahasa Luhu, yaitu Oho (Loncat/Lompat) dan Langka (silat/gerakan). Jadi bisa
dikatakan bahwa Oholangka adalah
gerakan melompat-lompat yang berbentuk silat, dan dimainkan dalam waktu-waktu
tertentu. Mengenai asal-usul siapa penciptanya, masyarakat disini kurang
mengetahui secara pasti siapa yang pertama kali memulai atau menciptakan Oholangka, namun yang jelas budaya ini
sudah ada semenjak nenek moyang mereka pertama kali menginjakkan kaki di
Negeri/Desa Luhu dan sudah berusia ratusan tahun. Mereka mengklaim bahwa tidak
ada unsur pengaruh dari Melayu ataupun Jawa dalam Oholangka, dan ini merupakan satu-satunya di Tanah Luhu atau Pulau
Seram.
Berbeda dengan Pencak Silat di daerah Indonesia lainnya, Oholangka dimainkan tidak dengan
menggunakan senjata, hanya sebuah gerakan-gerakan yang mengikuti iringan musik.
Alat musik yang mengiringi biasanya adalah Bedug, Tifa, dan Gong. Fungsinya
pada masa sekarang adalah sebagai hiburan dan tidak memerlukan suatu
persyaratan atau persiapan khusus. Semua orang bisa mempelajari dan
memainkannya baik dari dalam Negeri/Desa Luhu sendiri, maupun dari luar Luhu. Fungsinya pada zaman dahulu adalah
sebagai beladiri asli Negeri/Desa Luhu, yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti
dan mengusir para penjajah saat mereka melakukan Oholangka di depan Mesjid. Dikatakan sebelumnya posisi Mesjid Luhu
sebelum terbakar adalah tepat di depan laut, yang memungkinkan kebudayaan itu
dilihat dari kejauhan. Tujuan menakut-nakuti para penjajah yaitu untuk
melindungi komoditi Negeri/Desa Luhu yaitu rempah-rempah seperti cengkeh dan
pala. Namun seiring perkembangan zaman fungsinya berubah-ubah, yang sampai saat
ini hanya sebagai hiburan selepas bulan Ramadhan dan mengingatkan mereka akan
fungsi kebudayaan ini pada masa lalu.
Gambar 3. Tradisi Adat Oholangka
Selain faktor perkembangan zaman, faktor implementasi pada
masyarakat terutama pada kalangan remaja membuat kebudayaan ini berubah kearah
yang sekarang. Dengan kata lain, beladiri Oholangka
ini pernah disalahgunakan oleh kalangan remaja di Negeri/Desa Luhu. Mereka
menggunakan silat sebagai adu kekuatan, saling melukai satu sama lain dan
sempat membuat warga resah. Untuk itu, gerakan-gerakan Oholangka yang sekarang ini bisa dikatakan tidak beraturan, tidak
menggunakan senjata, dan hanya menunjukkan gerakan dari individu masing-masing,
atau tidak ada pakem gerakan.
Perubahan juga terjadi pada pakaian yang digunakan pada saat
memainkan Oholangka. Sebelum dimulai,
semua harus dipersiapkan secara matang, dimana setiap orang yang ingin maju
harus menggunakan pakaian adat seperti berlengan panjang dan celana panjang.
Tetapi yang paling utama adalah harus memakai Soko, Kain (Koko), dan Kopiah.
Pada saat ini, semuanya bisa melakukan Oholangka
tanpa harus memakai pakaian adat, bahkan anak-anak sekalipun bisa ikut
memainkannya
Tradisi Loi Manur
Negeri Luhu ada
memiliki tarian yang merupakan suatu hal yang memiliki nilai dan filosofi
kehidupan keseharian,salah satunya adalah tari Loi Manur. Loi Manur (tari kemenangan) adalah Loi artinya tari dan Manur artinya
kemenangan. Tari Loi Manur adalah
tarian rakyat Negeri Luhu yang dimainkan oleh kaum wanita yang mana tarian
tersebut memiliki nilai dan filosofis yang menarik untuk kita lihat dan telaah.
Tarian Loi Manur adalah bagian dari simbol
masyarakat Negeri Luhu dan merupakan pelengkap dari sebuah dinamika kebudayaan
masyarakat Negeri Luhu. Tarian tersebut merupakan tarian simbol kemenangan.
Kemenangan dalam arti yang luas, bisa disebut kemenangan dalam berperang,
keberhasilan dalam mempertahankan sebuah negero, keberhasilan dalam mengusir
penjajah dan sebagainya. Tentunya tari Loi
Manur memiliki nilai-nilai luhur yang tinggi dalam pencapaian sebuah
aktivitas maupun lainnya.
Gambar 4. Tarian
Loi Manur
Tarian Loi Manur melambangkan sebuah gerakan
maupun tarian yang memiliki simbol kemenangan, artinya tarian tersebut
dilaksanakan pada hari tertentu dan bersifat sakral. Dari aspek sosial, ekonomi
tarian Loi Manur mempunyai
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap gerakan yang dilakukan para pemain
tari (perempuan). Tarian Loi Manur dimainkan
ketika para tentara yang dipimpin oleh Raja berhasil mengalahkan lawannya
(penjajah) maupun mengusir serdadu Belanda dan Portugis di negeri yang mereka
cintai. Tarian Loi Manur melambangkan sebuah isyarat memberikan semangat untuk
berjuang kepada tentara-tentara yang berperang melawan penjajah dan juga
sebagai ucapan terimakasih kepada tentara yang bersedia menumpahkan darah untuk
negeri yang mereka cinta.
Saor Tema dan Ujung Tobu
Kebiasaan masyarakat Negeri Luhu setiap tahunnya dalam
menyambut bulan ramadan dibuat berbeda dengan tempat asal agama Islam yakni Arab. Mereka menyambutnya
dengan kebiasaan-kebiasaan mereka sendiri, dan hal tersebut menjadi suatu makna
tersendiri bagi mereka. Makan besama pada saat malam sahur pertama atau dikenal oleh
masyarakat Negeri Luhu dengan nama Saor
Tema adalah sebuah kebiasaan masyarakat Luhu saat malam awal bulan ramadan.
Dinamakan Saor Tema
karena hal tersebut dilakukan pada malam pertama bulan ramadan (Saor artinya
sahur dan tema adalah pertama). Prosesnya dibuat berbeda dengan makan
sahur pada malam-malam lain di bulan ramadan tersebut. Mengapa sampai orang-orang banyak,
hidangan makanan sahurnya dan ruang makanpun berbeda pada malam itu atau
dikhususkan, dikarenakan keluarga jauh pada Luma
Tau maupun rumah warga di Negeri Luhu pulang ke kampung halaman dan
berkumpul untuk melakukan puasa di Negeri Luhu dan mereka biasanya pada malam
tersebut berkumpul untuk melakukan sahur pertama bersama.
Gambar
6. Ujung Tobu
B. Dinamika
Peradaban dan Budaya
Huamual dalam Bingkai Kebhinekaan
Sifat penduduk lokal
yang dinamis dan terbuka terhadap penduduk asing yang masuk ke Nusantara
membuat eksistentsi bagi Nusantara itu sendiri. Terbentuknya interaksi antar
pedagang dan pendatang dengan penduduk di Maluku, menciptakan sebuah kultur
sosial yang sangat baik. Bangsa-bangsa yang hidup berdampingan (bangsa
portugis, spanyol, Belanda, Melayu, China, Arab) sehingga menimbulkan suatu
asimilasi dan akulturasi. Memahami kultur dan kekayaan hayati Indonesia sangat
penting bagi pewaris negeri ini. Keberagaman budaya, nilai perjuangan, dan
persatuan khususnya di kecamatan Huamual, negeri Luhu harus bersinergis.
Secara deskriptif,
negeri Luhu merupakan kelompok masyarakat dengan mayoritas muslim, terdiri dari
12 Marga yang dipimpin oleh 7 kepala Soa. Sedangkan negeri Luhu sendiri
dipimpin oleh seorang raja atau kepala desa. Nilai kekeluargaan di negeri Luhu
ini sangat terlihat jelas. Keramahtamahan penduduk lokal terhadap pendatang
juga terjalin sebuah hubungan yang harmonis. Penduduk lokal negeri Luhu sangat
terbuka dalam komunikasi, apalagi berbicara tentang cengkeh, pala, sagu, dan
bahan-bahan makanan khas Luhu. Segala informasi yang dibutuhkan dengan sangat
senang hati penduduk lokal Luhu akan berbagi pengetahuan dan berbagi informasi.
Semboyan bangsa
Indonesia pada ideologi Negara berupa bhineka tunggal ika sudah teraplikasi di
negeri Luhu ini. keberagaman yang hidup bersama dalam ikatan persaudaraan dan
kekerabatan yang tinggi. Sehingga tidak heran jika keadaan masyarakat di negeri
Luhu terbilang aman dan damai. Terdapat juga tradisi adat yang masih terlaksana
seperti Oholagka (Pencak silat) yang dilaksanakan setelah hari raya idul fitri
berkisarkan pada 1-7 syawal. Tehununa (Ujung Tobu), yang biasanya dilakukan
diakhir bulan Ramadhan yang di lakukan oleh setiap rumah-rumah masyarakat di
negeri Luhu, kemudian terdapat juga Tehuhuna besar (ujung tobu besar) yang
dipusatkan pada jalan rumah tau marga/vam Makatita.
Acara adat lainnya yang
masih menjadi tradisi masyarakat Luhu adalah Tukanga Situlu yaitu tradisi
pembersihan masjid menjelang minggu terakhir masuk bulan Ramadhan/puasa dimana
masyarakat bersama-sama saling bahu-membahu. Sanile Hena, adalah kumpulan
masyarakat negeri sesudah 7 hari setelah idul fitri. Setelah itu ada pertunjukan
seni budaya tari berupa: Tarian cakalele
dan tiup tahule (kulit Bia/kerang), Tarian Loi Parise (tarian selamat datang),
Tarian Loi Manur (tarian Bunga/Kemenangan), Tarian Toto buang (pukul Tifa,
penjemputan tamu), Tarian Loi Sawate (Tari sawat). Berbagai tradisi dan
kesenian di negeri Luhu tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang
senantiasa menjaga keharmonisan dalam ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang
erat.
Kapata dan Pasawali: Cerita Tutur di Negeri Luhu
Di negeri Luhu, sebelah barat pulau Seram, terdapat tradisi-tradisi yang
masih dijaga oleh masyarakat. Penyambutan Tamu, Melihat Bulan, Tehuhuna, Pipi Warane, Oholangka, Semile
Hena, Tukanga Situlu –deretan nama ini merupakan ritus-ritus yang masih
dilakukan hingga sekarang. Keenam ritus terakhir merupakan ritus yang berkaitan
dengan hari-hari suci Islam, sementara ritus pertama merupakan upacara
penyambutan tamu yang disertai tari-tarian adat. Tidak hanya itu, terdapat juga
tradisi lisan atau cerita rakyat yang disampaikan pada setiap kali ritus-ritus
dilakukan, yaitu Kapata dan Pasawali. Namun frasa tradisi lisan
kurang pas untuk digunakan pada tradisi ini. Kapata dan Pasawali
memiliki kekhasan tersendiri sehingga, sebutan yang pas untuk penamaan tradisi
tersebut adalah sastra lisan.
Kapata dan Pasawali
sebagai sastra lisan dibenarkan jika merujuk pada diktat Suripan Sadi Hutomo
tentang studi sastra lisan. Kapata dan Pasawali memiliki unsur estetis
tersendiri sebab Kapata dan Pasawali diiramakan menggunakan bahasa
daerah Luhu, yaitu bahasa Tanah, yang pada titik tertentu memperkuat
kekhasannya. Kapata dan Pasawali juga memiliki unsur intrinsik jika merujuk
pada karya sastra tulis. Misalnya pembaitan, rima, alur, plot, tokoh, setting dan metafora dalam puisi dan
prosa. Melihat sastra dengan merujuk pada tetek-bengek definisi sastra menurut
A Teuw yang kaku, yang membaku, yang membelenggu, dan yang membatu untuk
menelaah sastra, akan berujung pada pengerdilan nilasi sastra sebagai proyek
kebudyaan.
Sastra lisan Negeri Luhu berbeda dengan sastra lisan negeri-negeri lain
pulau Seram yang cenderung pendek, berkisar dua sampai 13 baris. Sastra lisan
negeri Luhu terbilang panjang, mulai dari 5 hingga 26 baris. Sastra lisan di
negeri-negeri lain pulau Seram juga hanya berupa Kapata, sementara di Negeri Luhu terdapat Pasawali yang menambah khazanah sastra lisan Negeri Luhu. Namun
secara umum Kapata dari Negeri-negeri
di Pulau Seram memiliki kesaman saat penyampaian, yaitu disampaikan dalam
ritus-ritus tertentu dengan cara diiramakan. Sayangnya Kapata dan Pasawali
Negeri Luhu “tidak sempat” masuk dalam lingkup penelitian Balai Pengkajian
Nilai Budaya Provinsi Maluku dan Maluku Utara.
Walaupun Kapata dan Pasawali merupakan sastra lisan,
keduanya memiliki fungsi dan isi
yang berbeda. Kapata digunakan
sebagai penyemangat masyarakat untuk membangun atau memperbaiki Negeri Luhu.
Sementara Pasawali digunakan sebagai
pemanggil masyarakat untuk berkumpul dan penghormatan terhadap Raja, Tetua
Adat, Roh-hoh leluhur, dan orang-orang penting lainnya dalam masyarakat. Namun
keduanya terkdang dikaburkan dan dianggap memiliki fungsi yang sama oleh
beberapa masyarakat. Hal ini dimungkinkan dari penyampaian Kapata dan Pasawali yang
diiramakan.
Secara teoretis Kapata dan Pasawali terbagi dalam dua bagian umum
dan dua genre khusus dalam kajian sastra lisan. Pada bagian umum keduanya
terbagi menjadi sastra lisan yang bercerita dan sastra lisan yang bukan cerita.
Semantara pada bagian genre, Kapata
termasuk dalam genre legenda (legends) pada bagian umum sastra lisan yang
bercerita dan Pasawali termasuk dalam
genre ungkapan (folk speech) pada bagian umum sastra lisan yang bukan cerita.
Keduanya memiliki isi yang berbeda berdasarkan pembagian di atas.
Dinamika Peradaban Islam
Negeri Luhu berada pada
tatanan kerajaan Huamual, dimana dalam sistem kepemerintahannya pra-demokrasi
dapat dilirik dari sistem pengangkatan seorang raja atau upulatu (sebutan pemimpin negeri) yang dilaksanakan berdasarkan
peraturan adat. Pengangkatan ini biasanya dilaksanakan dengan menunjuk dua
marga dari duabelas marga yang ada di negeri Luhu sebagai calon raja. Dua marga
ini disebut dengan soa paranteh atau mata rumah paranteh yang terdiri dari marga Kaliky dan marga Payopo. Sistem pengangkatan raja dengan mengambil calon dari
dua marga ini memang sudah menjadi warisan leluhur di Negeri Luhu, dimana dalam
proses pengangkatan ini melibatkan dua marga, yakni Kaliky dan Payopo.
Pengangkatan seorang
raja dilakukan dengan mengumpulkan dua marga (marga Kalikiy dan marga Payopo)
tersebut untuk melaksanakan musyawarah dengan tujuan mengetahui siapa yang
layak dan pantas menjadi seorang raja atau upulatu. Dalam musyawarah ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
calon dari dua marga untuk menjadi seorang raja, yakni;
1.
patut
dan taat pada agama Islam,
2.
memiliki
garis keturunan yang bersih, memahami ajaran Islam,
3.
dan
faham tentang sejarah.
Pada sistem atau proses
pengangkatan raja, terlihat bahwa ada dua unsur yang berbeda namun saling
berdampingan dengan tidak membuat kesinambungan satu sama lain, yakni sistem
adat dan ajaran Islam, kedua unsur ini pula saling mendukung satu sama lain.
Adat merupakan suatu kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya,
norma-norma budaya maupun hukum, serta suatu aturan yang dapat mengikat
masyarakat dalam ranah interaksi sosial sehingga dapat menjadi sistem yang
terus menerus dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan Islam ialah agama yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. dengan berpedoman pada Al-Qur’an yang
diturunkan melalui wahyu Allah lalu kemudian diturunkan ke dunia, lalu kemudian
ajaran ini senantiasa hingga turun temurun menjadi suatu hal yang bersifat
larangan, anjuran, kewajiban, serta unsur kemaslahatan sosial.
Sistem adat yang dianut
oleh negeri Luhu dalam proses pengangkatan seseorang menjadi raja ini ternyata
terdapat ajaran Islam yang memang tidak bisa menepi, bahkan menjadi satu
kesatuan yang tidak mencukil sistem pemerintahan dengan adat tersebut. Dengan
sistem seperti ini terlihat bahwa ajaran Islam tersebut merupakan salah satu
unsur penting dalam sistem kepemerintahan negeri Luhu, seperti halnya dalam
sistem penilaian menjadi seorang raja tersebut terdapat syarat-syarat yang
mengataskan ajaran Islam, yakni seorang raja harus patut dan taat pada agama
Islam, memiliki garis keturunan yang bersih, memahami ajaran Islam.
Syarat-syarat tersebut
memang menjadi hal yang wajib berlaku bagi calon yang akan menjadi raja dari
kedua marga tersebut (marga Kaliky dan Payapo), karna dengan sistem seperti
ini, dengan menjadi raja itu tidak hanya akan berfikir tentang bagaimana
mengatur sistem kepemerintahannya, akan tetapi di sisi lain pula ia harus
menjadi ujung tombak yang harus mampu menjadi contoh untuk rakyatnya dalam hal
memahami ajaran Islam. Tidak luput demikian, raja pun tidak hanya harus mampu
sebagai imam untuk rakyat, akan tetapi juga harus mampu sebagai imam dalam hal
ibadah seperti imam sholat berjamaah, sholat jum’at, maupun sebagai khatib nantinya.
Pada masa kerajaan
Huamual Mesjid sudah dibangun dan digunakan untuk tempat pelaksanaan ibadah,
namun bencana kebakaran yang melanda pada saat itu sehingga masjid tua ini
pun mengalami kerusakan yang begitu
farah. Untuk tahapan selanjutnya masyarkat Luhu yang memiliki 12 marga mereka
berunding untuk membicarakan pembangunan masjid ini kembali, akhirnya pada
tahun 1907 masjid ini dibangun untuk yang kedua kalinya dengan berunding kepada
seluruh masyrakat agar memberikan dana sukarelawan untuk pembangunan masjid, dan
masjid tua ini sudah berumur sekitar 93 tahun.
Masjid ini memiliki ciri khas tersendiri yaitu di tiang alif masjid ini
terdapat lambang rempah-rempah khas di
wilayah luhu yaitu cengkeh, pala, lada, dan sagu.
Tempat ibadah yang ada
di Luhu sungguh sangat menarik perhatian
umum dikarenakan ada perbedaan yang terdapat secara signifikan yaitu, mengenai
tempat pelaksanaan ibadah antara orang laki-laki dan perempuan itu
dipisahkan. Tidak seperti biasanya yang kita temui diwilayah-wilayah lain yaitu
mengenai penggabungan antara tempat ibadah laki-laki dan perempuan, biasanya
dilaksanakan di dalam satu tempat hanya saja ada pemisah atau batasan yang
biasanya di batasi dengan kain pembatas
agar jarak laki-laki dan perempuan itu bisa seimbang. Masjid yang ada
wilayah Luhu ini atau biasanya disebut masjid Jami’, digunakan sebagai tempat
pelaksanaan ibadah untuk orang laki-laki sementara di mushola itu digunakan
sebagai tempat pelaksanaan ibadah kaum perempuan. Letaknya masjid dan mushola ini saling berdampingan, namun tata cara
pelaksanaan shalat fardu yang biasa dilakukan itu tetap sama seperti yang
dilakukan oleh umat muslim diseluruh penjuru dunia, yang dimana imam shalat itu
tetap dipimpin oleh kaum laki-laki.
Hukum Adat
Hukum adat pertama
kali digunakan oleh
Prof. Snouck Hurgroune (1894), sebelum istilah
sebelum istilah hokum
adat berkembang, Hurgrounje dalam bukunya
atjehers (aceh) pada
tahun 1893-1894 menyatakan
bahwa hokum rakyat
Indonesia yang tidak
dikodefikasi adalah atjehers. Menurut kamus
besar bahsa Indonesia
adat adalah perbuatan
yang lazim atau
turut di lakukan
sejak dahulu kala
yang sudah menjadi
kebiasaan. Wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri
atas nilai-nilai budaya,
norma, hokum, dan
aturan satu dan
lainnya berkaitan menajadi
suatu system. Hokum
adat itulah yang
mengikat segalah kehidupan
kemasyarakatan sebagai masyarakat
atau negeri yang
beradat.
Adapun sanksi hukum adat Negeri luhu sebagai berikut, pertama;
Sasi
Negeri/sasine, upulatu mengangkat beberapa orang untuk menjadi kewang atau
mandor jaga disaat negeri atau alupu hena dengan kesepakatan bersama. Kewang
terbagi atas dua bagian yaitu: Kewan
Laut, Kewang
Darat. Sementara iu hukum
cambuk Biasanya diganjarkan pada masyarakat baik tua maupum
muda, pria atau wanita, seseorang maupun kelompok yang melanggar aturan-aturan
adat yang ditetapkan lewat rapat negeri/alupu hena seperti:Pencurian, Pemerkosaan/pencabulan, Minum
minuman keras. Apabila
hukuman cambuk yang telah diancurkan kepada mereka yang melenggar atura-aturan
adat yang sudah tentu tidak sesuai dengan norma-norma agama yang telah berjanji
tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu lagi.
C. Pengembangan
Potensi Sosial Ekonomi Kekinian
Petani dan Penentuan Harga Cengkeh di Masa Mendatang
Perkebunan cengkeh
dapat dipanen dan dipetik setelah enam tahun dan mulai dari pembibitan.
Selanjutnya akan berbuah terus menerus setiap tahunnya. Untuk proses pembuahan
mulai dari munculnya kuncup atau sering disebut muluburung selama kurang lebih tiga bulan akan tumbuh akar
bercabang atau anakan. Selanjutnya dalam tiga bulan akan mulai tumbuh buah
kecil yang biasa disebut taitikus
karena bentuknya yang sangat kecil. Lalu kurang lebih tiga bulan akan tumbuh
bunga, dan sudah siap untuk dipanen tepat waktu, karena jika cengkeh yang
berbuah lambat dipanen akan muncul anakan yang baru lagi.
Pada jalur pemasaran cengkeh di Negeri/Desa Luhu, Kab.
Seram Bagian Barat, Prov. Maluku yaitu
mulai dari petani cengkeh – pedagang pengumpul Negeri/Desa Luhu – pengumpul
kota ambon – pengusaha. Dengan jalur seperti itu terkadang pedagang pengumpul
membeli cengkeh dari petani dengan harga yang sangat lebih murah dari harga
yang diberikan oleh pengusaha, itu dikarenakan pedagang ingin mendapatkan
keuntungan yang lebih banyak.
Harga
komoditas cengkeh petani di Negeri Luhu di tentukan oleh harga pembeli. Petani cengkeh hanya mengikuti perkembangan
harga dari pabrik penerima cengkeh. Bila
perusahaan penerima cengkeh bertahan, harga dari petani juga bertahan. Jadi petani cukup mengikuti harga yang telah
ditentukan pasar. Harga pembelian
produksi cengkeh di Negeri Luhu itu bervariasi berdasarkan proses kualitas.
Selain itu juga ditentukan kebutuhan industri (pabrik) rokok di pulau jawa
misalnya. Jika produksi cengkeh itu jumlahnya banyak seperti saat panen raya
harganyapun otomatis rendah. Dan jika
produksi cengkeh itu sedikit maka hargapun bisa naik namun variasi harga
pembelian cengkeh produksi petani ditentukan sesuai proses kualitas.
Gambar 8. Proses Pengumpulan dan
Penjemuran Cengkeh oleh Petani di Luhu
Namun terkadang petani
sendiri yang mengantarkan hasil panen
cengkeh ke Kota Ambon untuk dijual kepada pengusaha pengumpul dengan
pertimbangan tertentu. Harga beli dari pengusaha pengumpul petani sangatlah
standar. Dan harganya juga tidak stabil berkisaran Rp.100.000 perkilo untuk
cengkeh kering. Sedangkan cengkeh basah
dihitung menggunakan kaleng takaran (cupa),harga
satu cupa untuk cengkeh basah
berkisar Rp.6.000. Untuk hitungan empat belas cupa sama dengan 1kg. Dalam lima tahun terakhir harga cengkeh mengalami
kenaikan pada tahun 2016 yaitu kisaran harga Rp.120.000. Harga cengkeh sendiri
tidak stabil, tergantung permintaan pasar, selain itu juga dipengaruhi oleh
kenaikan atau penurunan mata uang asing.
Hal lain yang menjadi
persoalan naik turunnya harga cengkeh adalah faktor cuaca, mengapa demikian
karena apabila musim hujan petani sulit untuk menjemur cengkeh, sehingga petani
memasak cengkeh dengan air laut tentu hal ini membuat harga beli cengkeh
rendah, sedangkan saat musim kemarau petani dapat langsung menjemur cengkeh
dengan sinar matahari dan harganyapun jelas lebih mahal. Sedangkan harga
cengkeh ditentukan oleh pembeli atau pengusaha pengumpul bukan dari petani. Hal
ini sangat merugikan para petani karena tidak sesuai dengan pengeluaran biaya
panen petani.
Setiap petani
mengharapkan hasil panennya selalu berhasil dan mendapatkan hasil panen atau
produksi yang jumlahnya besar dan pada akhirnya juga mengharapkan suatu
keuntungan yang besar pula apabila hasil produksi itu mereka jual. Untuk
mengharapkan hasil produksi yang melimpah tentunya bukanlah suatu hal yang
mudah, karena para petani harus dibekali pengetahuan dan pengalaman dalam
bercocok tanam. Dilihat dari harga beli
cengkeh dari petani yang sangat murah apakah sudah memberi keuntungan yang layak
bagi petani? Kerena dilihat dari sisi biaya produksi cengkeh, petani harus
mengeluarkan banyak biaya seperti biaya tenaga kerja, transportasi, karung,
tali raffia, retribusi dan bongkar muat. Hal seperti itu yang biasanya menjadi
pertimbangan harga jual. Namun kenyataannya yang ditemukan di Negeri/Desa Luhu
harga beli cengkah dari petani di tentukan oleh pembeli, tentu saja hal itu
tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan petani dalam hal produksi
cengkeh.
Pengelolaan Pala dan Proyeksi Pasar di Masa Yang Akan
Datang
Harga
(price); Setelah produk jadi, maka langkah
selanjutnya yaitu menentukan harga produk, banyak aspek yang perlu kita
perhatikan seperti menetapkan harga berdasarkan biaya yang dikeluarkan oleh
produk, menetapkan harga sesuai harga pasar dan penetapan harga berdasarkan
permintaan konsumen. Tempat (place);
Memasarkan
sebuah produk harus memperhatikan tempat yang sesuai untuk produk yang akan
kita pasarkan, misalnya memasarkan produk pala (manisan) maka kita harus
menentukan tempat yang sesuai dalam memasarkan manisan tersebut seperti mencari
tempat yang strategis, dekat dengan jalan raya, banyak warga, dekat dengan SDM
dan lain-lain.
Gambar 9. Kebun,
Pohon, Bua, dan Pala Kering di Luhu
Pengelolaan Sagu dan Konsep Ekonomi Kerakyatan
Sagu dikenal sebagai primadona produk hortikultura di tanah Maluku,
terlebih di Negeri Luhu, yang sering dimanfaatkan langsung oleh penduduk
sebagai makanan pokok, maupun diolah menjadi produk olahan makanan khas di
negeri ini. Dimana, sebelum sagu dapat dikonsumsi, sagu harus diproduksi
terlebih dulu menjadi tepung sagu. Di Negeri Luhu sendiri, produksi tepung sagu
dikerjakan oleh 2-3 orang di awa
(tempat produksi) yang berdasarkan kebiasaan di negeri ini dilakukan oleh kaum
laki-laki. Secara umum proses produksi sagu di Luhu (secara tradisional)
dimulai dari proses pemotongan pohon sagu (lapia),
yang dilanjutkan dengan proses pemarutan batang sagu (ue lapia) dengan memakai nani/uete
selama kurang lebih 1 jam/batang sagu, kemudian hasil parutan tersebut diangkat
ke tempat penyaringan dengan sahaane dan disaring dengan kain amutee dan hahehulu, dimana air hasil penyaringan tersebut akan tertampung di
sumbu maupun di awa dan sisanya akan dibuang melalui awakulu, hasil penyaringan tersebut akan diendapkan selama 5-6
hari, sehingga dihasilkanlah sari tepung
sagu murni (keras) yang ditampung di sumbu dan sari tepung sagu halus di awa.
Selanjutnya sari tepung sagu murni dimasukkan kedalam tempat fermentasi
(late) dengan sendok khusus (sasui) dan dibungkus dengan daun sagu
hingga menjadi sebuah tumang,
sedangkan sisa yang masih ada dari tepung sagu murni dicampur dengan tepung
sagu halus, setelah itu akan difermentasikan selama 2-3 hari sampai diperoleh
tepung sagu yang siap dijual maupun diolah lagi. Lebih uniknya seluruh proses
produksi dari awal sampai akhir menggunakan alat-alat yang dibuat dari pohon
sagu itu sendiri, tidak terkecuali tempat produksinya (awa). Selain itu di negeri ini akan selalu terdengar nyayian khas
yang mengiringi selama proses pemarutan batang sagu. Nyayian berjudul “SOKE-SOKE”.
Salah satu hasil bumi Negeri Luhu yang tentu saja sangat mendukung
terhadap perkembangan Demokratisasi Ekonomi ialah sagu, dikarenakan rakyat Luhu
sudah mengolah primadona hortikultura ini sejak dulu, bahkan hampir semua
penduduk di Luhu memiliki lahan sagu untuk diusahakan. Hal tersebutlah yang
menjadi alasan mengapa sagu di Negeri Luhu dapat dikatakan sebagai “Tanaman
Rakyat”. Yang menjadi keunikan tersendiri di negeri ini adalah bahwa adanya
aturan adat yaitu Sasi Negeri/Sasine dalam
bentuk sasi sagu, yang memagari Demokratisasi Ekonomi berbasis kearifan lokal
(sagu) di Luhu. Seperti yang telah dijelaskan diatas, penerapan sasi sagu (sagu
negeri dan sagu orang/individu) bertujuan untuk menjaga kelestarian pohon sagu
(lapia) dan untuk
mengontrol/meminimalisir penurunan perekonomian rakyat, khususnya petani sagu
di Negeri Luhu.
Gambar 10.
Pengolahan dan Pengemasan Sagu di Luhu
Pasar dan Pelabuhan dan Dinamika Budaya Agraris dan
Maritim
Ketika
menyebutkan maritim maka terngiang dalam kepala pelabuhan, perkapalan, hasil
laut dan lain hal. Maka lahirlah sebuah tempat yang menjadi pertemuan kedua
budaya ini untuk saling memfasilitasi yaitu pelabuhan. Ditempat ini semua hal
berkumpul, komoditi, pedagang, nelayan, para petinggi, serta para. Dalam
bukunya yang berjudul Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17
Lapian,A.B menyebutkan Ramai tidaknya pelabuhan tergantung dari beberapa
faktor, diantaranya yang penting sekali adalah faktor ekologi, pelabuhan bukan
saja tempat berlabuh tetapi tempat bagi kapal dapat berlabuh dengan aman,
terlindung dari ombak besar, angin arus yang kuat seperti yang tersirat dalam
kata harbour(Inggris) dan haven(Belanda).
Gambar 11.
Gambaran Pasar dan Pelabuhan di Luhu
Pada masa panen Raya
Cengkeh, dalam wawancara bersama pak yusuf, hal ini mengundang banyak orang untuk
berdatangan dan merasakan nikmatnya berkah yang diberikan. Para pedagang bugis
yang berdatangan untuk membawakan komoditi cengkeh dari luhu untuk ke wilayah
lain dengan harga yang lebih lumayan. Orang-orang dewasa memamanjat untuk
melakukan panen bersama anak muda. Para ibu-ibu yang membuat makanan untuk para
pekerja.
PENUTUP
Dalam arus sejarah, jejak kekayaan
rempah di Negeri Luhu, menggambarkan simpul budaya agraris dan maritim, Kepulauan
Maluku dan Nusantara. Persentuhan dengan berbagai budaya luar yang terintegrasi
dalam proses panjang sejarah peradaban di Negeri Luhu dan Kerajaan Huamual, mencakup
pula wilayah-wilayah pengembangan di sekitarnya. Dinamika sejarah dan budaya
tersebut memberikan pelajaran berharga, bagi generasi Negeri Luhu khususnya,
dan wilayah Kepulauan Maluku dan Nusantara pada umumnya, tentang kekayaan
budaya yang lahir dari berbagai persentuhan berbagai budaya yang terintegrasi
di dalamnya. Dalam perkembangannya, kekayaan tradisi dan budaya yang dapat
dijumpai sekarang seperti tradisi Islam dan tradisi lokal, merupakan bagian
dari proses yang menyejarah. Demikian pula potensi kekayaan rempah yang lestari
hingga kini, juga bagian dari proses sejarah pengelolaan rempah sejak masa
lalu. Oleh karena itu, pengelolaan potensi kekayaan alam, khususnya
rempah-rempah dan kekayaan sumber produksi lainnya seperti sagu merupakan
potensi ekonomi yang penting dikembangkan untuk masyarakat di masa mendatang.
Siap Kawan sukses
BalasHapusSebelum kedatangan bangsa portugis, spanyol dan Belanda Negeri Luhu berada dalam bingkai kerajaan Huamual dari 99 Negeri di semenanjung Jazirah Huamual. Perang Huamual berkobar di tahun 1602-1651 (50 Tahun Perang Huamual) telah membumihanguskan 98 negeri dan tinggal satu-satunya negeri yaitu Negeri Luhu
BalasHapusCerita sejarah yang baik,slalu berkarya kalifah ke 6 siapa kalu kmu susun sejarah seperti itu trus orang"yang dari bagdar siapa dan marga nya sapa,kapitatahane marganya apa aslinya dari mana yang perna kuasai pulau seram,coba sebutkan nama"nya.jangan rekayasa sejarah.luhu masuk abad ke barapa iha masuk abad ke berapa sedangkan Kambelo abad ke berapa.dlm buku sajarah 99 negri bukan 98 kamu cerita sejarah yng baik,,,kenapa ada kasturian d Luhu dan marga itu aslinya dari mana.sudara saya orang Luhu tapi sejarah yang pas itu ada di Kambelo.
HapusSelalu berkarya..
BalasHapus