JEJAK REMPAH DAN ARUS BUDAYA NEGERI LUHU, HUAMUAL

KRU BREAK :
Abdul Kadir, Abdul Munib, Alwan Umasugi, Apri Pujiontama Purba, Kurnia Aditama Nugroho, Lalu Al Akmam, Reti Suhana, Rizky Meinisa, Shelly Tsaniah, Sulaiman Panji, Sumi Maryani, Tofan Gayum Rumaf, Wahyu Aditya Fernanda, Wahyuni Aihua, Yusli

"SERAM SQUAD"
Pak Budi, Pak Ical, Pak Wuri, Bang Bily, Bang Jaiz, Bang Ata, Kak Sarah
Mereka ialah Orang Tua, Wali, Pengawas, Pembimbing, Abang sekaligus Teman bermain, berpetualang, teman jalan
mereka dari sekian orang-orang biasa yang memiliki jiwa dan semangat serta karya luar biasa
  
TIM EKSPEDISI JALUR REMPAH NEGERI LUHU
DIREKTORAT SEJARAH, DIREKTORAT  JENDRAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
MALUKU, 2017





PENDAHULUAN
Kejayaan kemaritiman Indonesia pada masa lampau seperti pada masa tumbuh dan berkembangnya kerajaan Sriwijaya sampai dengan terbentuknya kerajaan Ternate-Tidore. Kemaritiman tersebut dilihat dari aktivitas masyarakat terhadap laut, pelayaran, perdagangan, pelabuhan, dan komoditas rempah-rempah. Sehingga, banyak bangsa pendatang yang memasuki wilayah Indonesia. Kepentingan bangsa pendatang masuk ke Indonesiapun bermacam-macam, karena perdagangan, politik, penjelajahan, dan sebagainya. Bangsa pendatang tersebut seperti bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Pelabuhan Ternate-Tidore, Makian dan Bacan dikunjungi para pedagang Nusantara, Jawa dan Melayu serta pedagang-pedagang Cina, Gujarat dan Arab. Pada 1320, misalnya, telah menetap di Ternate pedagang-pedagang Jawa, Melayu, Cina dan Arab. Hal yang sama juga terjadi di Tidore dan Makian.
Demikian pula, Kerajaan Huamual, merupakan salah satu kerajaan yang pada masa lalu sebagai salah satu kerajaan yang terkenal sebagai kerajaan maritim, terletak di pesisir pantai bagian barat Pulau Seram. Kerajaan Huamual merupakan sebuah negeri yang telah memiliki konsep kenegaraan karena memiliki rakyat yang besar, memiliki wilayah teritorial, sistem pemerintahan, lambang dan bendera kerajaan. Kata Huamual  secara bahasa berasal dari dua kata, yaitu; Hu Yang artinya Dia dan Mual  yang artinya pertama, demikian secara istilah HUAMUAL berarti Dia Yang Pertama”. Kerajaan Huamual, berdiri pada tahun 1256 dengan demikian memiliki kekuasaan  terbentang dari ujung selatan seram barat yaitu tanjung sial  menuju utara, tanah genting kota nia  yang disebut “Jazirah Huamual”termasuk didalamnya pulau buano, kelang, dan pulau manipa (Sumber: dok. Negeri Luhu, 2017).
Sebelum kedatangan bangsa portugis, spanyol dan Belanda Negeri Luhu berada dalam bingkai kerajaan Huamual dari 99 Negeri di semenanjung Jazirah Huamual. Perang Huamual berkobar di tahun 1602-1651 (50 Tahun Perang Huamual) telah membumihanguskan  98 negeri dan tinggal satu-satunya negeri yaitu Negeri Luhu sebagaimana yang dituangkan dalam bahasa Huamual yang sekarang ini menjadi bahasa adat Luhu dan sering dipakai dalam upacara adat (ritual adat) disaat pelantikan raja atau Upulatu Luhu. (Sumber: dok. Negeri Luhu, 2017).
Kedatangan bangsa Eropa di Indonesia pada awalnya adalah kepentingan ekonomi atau perdagangan. Di Eropa iklim saat itu sangat dingin sehingga kebutuhan rempah-rempah yang mampu menghangatkan tubuh khususnya yang ada di daerah Maluku sangat dicari. Apalagi pada saat itu pusat perdagangan dunia yang ada di konstatinopel mengalami pemboikotan bagi bangsa Eropa. Melihat kebutuhan komoditas rempah-rempah sangat tinggi, para penjelajah Eropa harus mengarungi samudera dan laut yang sangat luas yang kemudian akhirnya menemukan daerah Maluku. Para petani cengkeh, pala, lada yang ada di Maluku menjadi sejahtera karena banyak pasokan rempah-rempah yang harus disiapkan. Masyarakat yang terkait yaitu pada daerah Maluku, khususnya di negeri Luhu. Komoditas rempah-rempah yang ada di negeri Luhu antara lain: Cengkeh, Pala, Lada, dan Sagu. Kecakapan masyarakat lokal dalam memanfaatkan lahan dan sumber daya alam rempah-rempah menjadi sebuah tonggak kehidupan yang makmur. Kedatangan penduduk asing yang berinteraksi dengan penduduk lokal mampu membangun sebuah hubungan politik, hubungan dagang maupun hubungan kekerabatan yang cukup erat melalui perkawinan dengan masyarakat di Huamual, Negeri Luhu.
            Jaringan perdagangan masa lalu telah menempatkan rempah-rempah sebagai komoditi utama, yang telah ada sejak awal masehi dengan adanya kontak antara pedagang nusantara dengan pedagang Cina, Arab dan India. Jaringan perdagangan rempah-rempah ini kemudian semakin ramai dengan kedatangan bangsa Eropa sekitar abad ke-16, ditandai dengan penguasaan atas Malaka – salah satu bandar penting dalam jaringan perdagangan Asia Tenggara – pada tahun 1511 oleh bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Eropa ke kawasan Asia tidak lepas dari keberhasilan bangsa Portugis menemukan jalur pelayaran yang menghubungkan daratan Eropa dan Asia melalui Afrika (Bachri, 2009: 1 dan 37; Sutherland, 2004: 5 dan 7-8). Jalur pelayaran inilah yang kemudian menjadi jalur alternatif jaringan perdagangan dunia yang sebelumnya merupakan jalur darat. Dengan demikian, dalam konteks perdagangan rempah-rempah, khususnya bagi bangsa Eropa telah terbentuk jaringan yang langsung menghubungkan Asia Tenggara khususnya Kepulauan Nusantara sebagai produsen utama rempahrempah dan Eropa sebagai konsumen.
Dalam jaringan perdagangan masa lalu, wilayah Huamual  adalah salah satu titik niaga penting bagi perdagangan rempah-rempah di Maluku. Sekitar abad ke-16 hingga abad ke-17, wilayah ini dikenal sebagai pusat penghasil cengkih terbesar di Maluku bagian tengah. Sumber-sumber sejarah bahkan menyebut bahwa wilayah ini merupakan pelabuhan cengkih yang ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang nusantara, dan juga pedagang-pedagang Eropa. Hingga awal abad ke-17, sebelum perdagangan cengkih jatuh di tangan para pedagang Belanda (melalui kongsi dagangnya yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie), di Kambelo yang merupakan salah satu kota pelabuhan di Huamual terdapat kantorkantor perwakilan Dagang Inggris dan Denmark. Peran Huamual kemudian runtuh di tangan VOC setelah keberhasilan mereka meredam perlawanan penguasapenguasa lokal di Huamual. Tidak hanya
itu, VOC bahkan menghancurkan pusat-pusat produksi cengkih dan merelokasi penduduk Huamual serta memindahkan pusat produksi cengkih ke wilayah lain yaitu di Kepulauan Lease.
Sebagai daerah penghasil cengkih pada masa itu, Huamual menjadi salah satu wilayah yang menjadi incaran VOC dalam upaya mereka menguasai perdagangan rempah-rempah. Salah satunya melalui ekspedisi Hongitochten yaitu menghancurkan pohon-pohon cengkih di wilayah ini. Selain itu, VOC juga menutup akses pedagang-pedagang Nusantara menjalin hubungan perdagangan dengan Huamual. Hal ini kemudian menimbulkan perselisihan antara VOC dengan masyarakat Huamual yang akhirnya mengakibatkan sebuah konflik yang dikenal dengan Perang Huamual. Masyarakat Huamual dibantu oleh para pedagang Nusantara membangun pusat-pusat pertahanan di Jasirah Huamual.

HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Kerajaan Huamual : Aspek Sejarah dan Perkembangan Tradisi
Sejarah dan Bukti-Bukti Tinggalannya
Sebelum kedatangan bangsa-bangsa asing seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda,Negeri Luhu berada dalam bingkai kerajaan Huamual yang terdiri dari 99 negeri yang berada di semenanjung Jazirah Huamual yang terbentang dari Tanjung Sial hingga tanah genting kota Nia termasuk di dalamnya pulau Buano, Kelang, dan pulau Manipa. Pada bagian utara berbatasan dengan Negeri Piru dan Tanunu, bagian barat berbatas dengan laut, timur bagian depan berbatasan dengan laut menghadap pulau Ambon dan selatan berbatasan langsung dengan laut di Maluku Utara (Ternate). Dengan pusat pemerintahannya yakni Luhu dan Kambelo.
Kerajaan Huamual merupakan sebuah kerajaan besar yang telah memiliki konsep kenegaraan, memiliki rakyat yang besar,memiliki wilayah teritorial yang luas, dilengkapi dengan sistem pemerintahan, lambang kerajaan, dan bendera kerajaan. Secara bahasa kata Huamual Berasal dari dua kata, yaitu: Hu yang artinya Dia dan Mual yang artinya pertama, jadi istilah Huamual berarti “Dia yang pertama”. Kerajaan ini dirikan pada tahun 1256 oleh Upu Latu Sialo.

Gambar 1.  Bendera dan  Lambang Kerajaan Huamual
Menurut sejarawan G. E Rumphius dalam catatannya, bahwa sebelum kedatangan bangsa-bangsa colonial ke Maluku, ada beberapa Kimelaha/Gubernur yang pernah memimpin masyarakat di pulau-pulau selatan yang dikendalikan langsung oleh Jou Gugu atau Kimelaha di Huamual, diantaranya yaitu gubernur Huamual Kimalaha Lautala (1558-1585), gubernur Huamual Kimalaha Robohongi (1585-1599),  gubernur Huamual Kimalaha Besi Frangi (1599-1611), gubernur Huamual Kimalaha Sabadin (1611-1619) Jou Gugu Huamual Kimalaha Hidayat (1620-1623) gubernur Huamual Kimalaha Liliato (1623-1638)  dan kimalaha terakhir pemberontakan melawan VOC/Belanda dalam perang terakhir Huamual adalah Kimalaha Madjira (1651-1658). Jatuhnya kerajaan Huamual melawan VOC/Belanda menandakan berakhirnya perang di Maluku. Adapun bangsa-bangsa Eropa yang pernah berkuasa di Huamual diantaranya yaitu:
1.      Masa kekuasaan Portugis 1512-1609
Ketika Alfonso de Albuquerque menaklukan malaka pada tahun 1511, ia mengirim laporan kedapa raja Portugis, Joa O II bahwa pulau rempah telah ditemukan. Selanjutnya De Albuquerque mengirim Antonio de Abreu dan fransisco Serrau, pada 11 november 1512 menuju Maluku. Mendengar kedatangan bangsa asing itu di Hitu, Sultan Bolief memerintahkan pangeran Juliba menjemput Fransisco Serrau untuk dibawa ke Ternate. Koalisi ternate portugis pun terbangun dan ternyata memberi perubahan terbesar di Timur. Koalisi itu pun mempengaruhi peta kekuasaan di Luhu dan Huamual.
2.      Masa kekuasaan Belanda (1605-1945)
Pada tahun 1598 ekskader Belanda dipimpin oleh Jacob Van Warwijck dan Jacob Van Hemskerck yang ditugaskan mencari jalur pelayaran menuju pulau rempah. Jacob Van Hemskerck tiba di Hitu dan diterima oleh kapitan Hitu. Wijbrand van Warwijck meneruskan pelayaran ke Ternate untuk bertemu dengan Sultan Said selanjutnya pada Tahun 1599 Steven Vander Haghen juga tiba di Hitu, ia mendapat izin mendirikan castle van Verre (benteng jauh) di Hila-Kaitetu. Pada tahun 1600 Jacob Van Neck tiba di Hitu kesepakatan pun di bangun, Belanda bebas dari pajak dan biaya Bandar dagang, Huamual dan Hitu mendapat bantuan penuh untuk mengusir portugis dari wilayahnya.
Empat tahun setelah kedatang Jacob Van Neck, hubungan peyaran menuju Huamual dan Hitu mulai lancar, para pemimpin itu pada tahun 1604 mengirim putra dari kapitan Hitu Tepil, hukum Ariguna/Mihirdjiguna ke Batavia ipar dari kimalaha Luhu dan Patihalia dikirim ke Batavia untuk meminta bantuan Belanda mengusir Portugis yang baru saja mendirikan benteng di Hitu kemudian pindah ke Leitimur (Laha), negeri Lama-Martafons kemudian menetap menjadi benteng Victoria di Ambon tepat pada 23 February 1605, Steven van der Haghen kembali ke Hitu. Dua hari kemudian, pada 25 february 1605, Kapitao Benteng Gaspar  De Mello menyerah kepada Belanda. Maka berakhirlah masa kekuasaan portugis di Maluku dan tamatlah riwayat portugis di selatan,  kemudian kekuasaan berpindah ke tangan VOC/Belanda.
Dilatarbelakangi oleh ketamakan VOC/Belanda yang mengendalikan perdagangan Cengkeh di Maluku yang berpusat di Huamual pada akhirnya memicu kemarahan rakyat Huamual. Sehingga muncul gejolak masyarakat yang digerakan akibat ketidakadilan terhadap rakyat Huamual. mengakibatkan meletusnya perlawanan rakyat Huamual  dengan VOC/Belanda yang dikenal sebagai perang Huamual yang merupakan salah satu perang terbesar melawan VOC/Belanda yang pernah terjadi di Maluku.
Sejak masa pemerintahan Gubernur Van Diemen serta gubernur Jan Pieters Coen dan yang terakhir gubernur Arnold De Vlamingh Van Oudshoorn pada periodesasi (1655-1661) merupakan gubernur VOC/Belanda yang paling kejam, dalam masa jabatannya tersebut  mengakibatkan sedikitnya sekitar 50.000 jiwa tewas, dan dihancurkannya kehidupan masayarakat di Huamual. Para gubernur itu menggunakan kekerasan untuk monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku, terkhusus di Huamual.
Negeri-Negeri yang ada di kerajaan Huamual dibumihanguskan oleh mereka, sehingga rakyat kehilangan mata pencaharian, kehilangan tempat tinggal sehingga banyak dari mereka dibiarkan memilih pindah dari tanah airnya, pindah dari agamanya atau dibunuh dan akhirnya mati kelaparan. Pemerintah kerajaan Belanda, lebih mengutamakan hasil rempah-rempah (cengkeh) sehingga VOC /Belanda melakukan pembantaian puluhan ribu rakyat Huamual serta pendeportasian rakyat dari tanah airnya hingga mengakibatkan kesengsaraan rakyat Huamual. Dibawah pimpinan kimalaha Madjira (1651-1656), yang diangkat menjadi kimalaha yang berpusat dikota Luhu pada waktu itu, menolak menghancurkan bagian dari perkebunan cengkih yang masih muda milik rakyat dan bersama rakyat Luhu melakukan perlawanan terhadap VOC/Belanda. Negeri Luhu pada akhirnya mampu bertahan dan menjadi satu-satunya negeri yang tersisa dari total 99 negeri yang ada di kerajaan Huamual.Setelah perang huamual, cengkeh di Huamual ditebang semuanya dengan tujuan monopoli dan mengontrol harga cengkeh, kemudian ditanam kembali dipulau Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut dengan pengawalan pasukan VOC/Belanda.
Bukti-bukti tinggalan sejarah (arkeologis) antara lain yang paling dikenal oleh masyarakat adalah Situs Benteng Overburg yang dibangun kembali oleh Belanda pada tahun 1644. Pada awalnya difungsikan sebagai loji, tempat penyimpanan atau gudang rempah. Sementara itu Situs Goa Pintu Tujuh merupakan pangkal pemikiran sejarah yang dapat dijadikan tolak ukur dalam mencari fakta berupa keterangan kaitanya dengan rempah-rempah yang terdapat di Luhu. Dengan ditemukannya goa pintu tujuh yang apabila dikaitkan dengan temuan arkeologi dan karaksteristik goa itu sendiri maka akan muncul suatu gambaran terkait jejak rempah yang perna ada di negeri Luhu.
Gambar 2. Goa Pintu Tujuh
Dalam catatan sejarah dari tutur rakyat negeri Luhu menyebutkan bahwa Luhu merupakan sumber rempah-rempah yang yang pertama. Gua alam yang terdapat di Negeri Luhu atau yang biasa disebut oleh gua pintu tujuh oleh masyarakat setempat merupakan suatu bukti fisik yang menjelaskan bahwa dulunya tempat tersebut memiliki kemungkinan perna menjadi tempat perniagaan rempah-rempah oleh kerajaan Huamual dengan kerajaan china. Asumsi ini didukung oleh beberapa temuan arkeologi  berupa geraba dan keramik yag berasal dari China, sehingga ini juga bisa menjadi bukti bahwa dulunya perna ada transaksi niaga dikawasan goa pintu tujuh. Transaksi tersebut diperkirakan sebagai prosesi barter rempah yang ditukar dengan keramik oleh kerajaan Huamual dengan Kerajaan China.
Menurut Wuri Handoko (2014) Temuan keramik beberarapa diantaranya menjadi koleksi penduduk, selain temuan dalam bentuk pecahan yang ditemukan dipermukaan tanah pada situs-situs yang disurvey. Temuan keramik koleksi penduduk merupakan wadah yang dipergunakan sehari-hari antara lain jenis mangkuk besar, mangkuk kecil,  dan piring serta cawan. Warna galsir pada umumnya  putih kebiru-biruan warna bahan  putih keabu-abuan dengan motif hias flora berwarna biru. Jenis keramik ini berasal dari China kemungkinan pada masa dinasti ming ( Abad 16-17) dan Qing (17-19 M).
Tradisi Adat Oholangka: Pencak Silat Dari Negeri Huamual
Salah satu kebudayaan adat yang masih ada dan terjaga sampai saat ini adalah Oholangka, atau yang lebih dikenal sebagai Pencak Silat asli dari Luhu. Oholangka atau bisa disebut juga Aho’olangka, berasal dari dua kata dalam bahasa Luhu, yaitu Oho (Loncat/Lompat) dan Langka (silat/gerakan). Jadi bisa dikatakan bahwa Oholangka adalah gerakan melompat-lompat yang berbentuk silat, dan dimainkan dalam waktu-waktu tertentu. Mengenai asal-usul siapa penciptanya, masyarakat disini kurang mengetahui secara pasti siapa yang pertama kali memulai atau menciptakan Oholangka, namun yang jelas budaya ini sudah ada semenjak nenek moyang mereka pertama kali menginjakkan kaki di Negeri/Desa Luhu dan sudah berusia ratusan tahun. Mereka mengklaim bahwa tidak ada unsur pengaruh dari Melayu ataupun Jawa dalam Oholangka, dan ini merupakan satu-satunya di Tanah Luhu atau Pulau Seram.
Berbeda dengan Pencak Silat di daerah Indonesia lainnya, Oholangka dimainkan tidak dengan menggunakan senjata, hanya sebuah gerakan-gerakan yang mengikuti iringan musik. Alat musik yang mengiringi biasanya adalah Bedug, Tifa, dan Gong. Fungsinya pada masa sekarang adalah sebagai hiburan dan tidak memerlukan suatu persyaratan atau persiapan khusus. Semua orang bisa mempelajari dan memainkannya baik dari dalam Negeri/Desa Luhu sendiri, maupun dari luar Luhu. Fungsinya pada zaman dahulu adalah sebagai beladiri asli Negeri/Desa Luhu, yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan mengusir para penjajah saat mereka melakukan Oholangka di depan Mesjid. Dikatakan sebelumnya posisi Mesjid Luhu sebelum terbakar adalah tepat di depan laut, yang memungkinkan kebudayaan itu dilihat dari kejauhan. Tujuan menakut-nakuti para penjajah yaitu untuk melindungi komoditi Negeri/Desa Luhu yaitu rempah-rempah seperti cengkeh dan pala. Namun seiring perkembangan zaman fungsinya berubah-ubah, yang sampai saat ini hanya sebagai hiburan selepas bulan Ramadhan dan mengingatkan mereka akan fungsi kebudayaan ini pada masa lalu.
Gambar 3. Tradisi Adat Oholangka
Selain faktor perkembangan zaman, faktor implementasi pada masyarakat terutama pada kalangan remaja membuat kebudayaan ini berubah kearah yang sekarang. Dengan kata lain, beladiri Oholangka ini pernah disalahgunakan oleh kalangan remaja di Negeri/Desa Luhu. Mereka menggunakan silat sebagai adu kekuatan, saling melukai satu sama lain dan sempat membuat warga resah. Untuk itu, gerakan-gerakan Oholangka yang sekarang ini bisa dikatakan tidak beraturan, tidak menggunakan senjata, dan hanya menunjukkan gerakan dari individu masing-masing, atau tidak ada pakem gerakan.
Perubahan juga terjadi pada pakaian yang digunakan pada saat memainkan Oholangka. Sebelum dimulai, semua harus dipersiapkan secara matang, dimana setiap orang yang ingin maju harus menggunakan pakaian adat seperti berlengan panjang dan celana panjang. Tetapi yang paling utama adalah harus memakai Soko, Kain (Koko), dan Kopiah. Pada saat ini, semuanya bisa melakukan Oholangka tanpa harus memakai pakaian adat, bahkan anak-anak sekalipun bisa ikut memainkannya
Tradisi Loi Manur
Negeri Luhu ada memiliki tarian yang merupakan suatu hal yang memiliki nilai dan filosofi kehidupan keseharian,salah satunya adalah tari Loi Manur. Loi Manur (tari kemenangan) adalah Loi artinya tari dan Manur artinya kemenangan. Tari Loi Manur adalah tarian rakyat Negeri Luhu yang dimainkan oleh kaum wanita yang mana tarian tersebut memiliki nilai dan filosofis yang menarik untuk kita lihat dan telaah.
Tarian Loi Manur adalah bagian dari simbol masyarakat Negeri Luhu dan merupakan pelengkap dari sebuah dinamika kebudayaan masyarakat Negeri Luhu. Tarian tersebut merupakan tarian simbol kemenangan. Kemenangan dalam arti yang luas, bisa disebut kemenangan dalam berperang, keberhasilan dalam mempertahankan sebuah negero, keberhasilan dalam mengusir penjajah dan sebagainya. Tentunya tari Loi Manur memiliki nilai-nilai luhur yang tinggi dalam pencapaian sebuah aktivitas maupun lainnya.
Gambar 4. Tarian Loi Manur
Tarian Loi Manur melambangkan sebuah gerakan maupun tarian yang memiliki simbol kemenangan, artinya tarian tersebut dilaksanakan pada hari tertentu dan bersifat sakral. Dari aspek sosial, ekonomi tarian Loi Manur mempunyai nilai-nilai yang terkandung dalam setiap gerakan yang dilakukan para pemain tari (perempuan). Tarian Loi Manur dimainkan ketika para tentara yang dipimpin oleh Raja berhasil mengalahkan lawannya (penjajah) maupun mengusir serdadu Belanda dan Portugis di negeri yang mereka cintai. Tarian Loi Manur melambangkan sebuah isyarat memberikan semangat untuk berjuang kepada tentara-tentara yang berperang melawan penjajah dan juga sebagai ucapan terimakasih kepada tentara yang bersedia menumpahkan darah untuk negeri yang mereka cinta.
Saor Tema dan Ujung Tobu
Kebiasaan masyarakat Negeri Luhu setiap tahunnya dalam menyambut bulan ramadan dibuat berbeda dengan tempat asal agama Islam yakni Arab. Mereka menyambutnya dengan kebiasaan-kebiasaan mereka sendiri, dan hal tersebut menjadi suatu makna tersendiri bagi mereka. Makan besama pada saat malam sahur pertama atau dikenal oleh masyarakat Negeri Luhu dengan nama Saor Tema adalah sebuah kebiasaan masyarakat Luhu saat malam awal bulan ramadan.

Gambar 5. Saor Tema di Negeri Luhu
Dinamakan Saor Tema karena hal tersebut dilakukan pada malam pertama bulan ramadan (Saor artinya sahur dan tema adalah pertama). Prosesnya dibuat berbeda dengan makan sahur pada malam-malam lain di bulan ramadan tersebut. Mengapa sampai orang-orang banyak, hidangan makanan sahurnya dan ruang makanpun berbeda pada malam itu atau dikhususkan, dikarenakan keluarga jauh pada Luma Tau maupun rumah warga di Negeri Luhu pulang ke kampung halaman dan berkumpul untuk melakukan puasa di Negeri Luhu dan mereka biasanya pada malam tersebut berkumpul untuk melakukan sahur pertama bersama.
Selain itu, ada salah satu tradisi masyarakat Negeri Luhu pada saat akhir bulan ramadan yakni Ujung Tobu atau dengan Bahasa Negeri Luhu yakni Tehununa. Ujung Tobu adalah suatu bentuk penghormatan terhadap keagungan bulan ramadan dengan cara menggantung apa saja yang dianggap atau ditetapkan oleh masyarakat Negeri Luhu. Barang-barang yang digantung mewakili perasaan suka cita dari mereka ketika menyambut saat tersebut. Ujung Tobu ini dilakukan pada saat malam 7 likur (malam ke-27 pada bulan ramadan). Pada saat itu, masyarakat Negeri Luhu beramai-ramai membuat Ujung Tobu dan pada umumnya mereka menggunakan gaba-gaba atau pelepah pohon sagu sebagai alat untuk menggantungkan barang-barang. Tujuan dibuatnya Ujung Tobu adalah karena pada kampung-kampung tetangganya membawa ketupat pada malam tersebut, tetapi untuk di Negeri Luhu dibuat Ujung Tobu.
Gambar 6. Ujung Tobu
B.     Dinamika Peradaban dan Budaya
Huamual dalam Bingkai Kebhinekaan
Sifat penduduk lokal yang dinamis dan terbuka terhadap penduduk asing yang masuk ke Nusantara membuat eksistentsi bagi Nusantara itu sendiri. Terbentuknya interaksi antar pedagang dan pendatang dengan penduduk di Maluku, menciptakan sebuah kultur sosial yang sangat baik. Bangsa-bangsa yang hidup berdampingan (bangsa portugis, spanyol, Belanda, Melayu, China, Arab) sehingga menimbulkan suatu asimilasi dan akulturasi. Memahami kultur dan kekayaan hayati Indonesia sangat penting bagi pewaris negeri ini. Keberagaman budaya, nilai perjuangan, dan persatuan khususnya di kecamatan Huamual, negeri Luhu harus bersinergis.
Secara deskriptif, negeri Luhu merupakan kelompok masyarakat dengan mayoritas muslim, terdiri dari 12 Marga yang dipimpin oleh 7 kepala Soa. Sedangkan negeri Luhu sendiri dipimpin oleh seorang raja atau kepala desa. Nilai kekeluargaan di negeri Luhu ini sangat terlihat jelas. Keramahtamahan penduduk lokal terhadap pendatang juga terjalin sebuah hubungan yang harmonis. Penduduk lokal negeri Luhu sangat terbuka dalam komunikasi, apalagi berbicara tentang cengkeh, pala, sagu, dan bahan-bahan makanan khas Luhu. Segala informasi yang dibutuhkan dengan sangat senang hati penduduk lokal Luhu akan berbagi pengetahuan dan berbagi informasi.
Semboyan bangsa Indonesia pada ideologi Negara berupa bhineka tunggal ika sudah teraplikasi di negeri Luhu ini. keberagaman yang hidup bersama dalam ikatan persaudaraan dan kekerabatan yang tinggi. Sehingga tidak heran jika keadaan masyarakat di negeri Luhu terbilang aman dan damai. Terdapat juga tradisi adat yang masih terlaksana seperti Oholagka (Pencak silat) yang dilaksanakan setelah hari raya idul fitri berkisarkan pada 1-7 syawal. Tehununa (Ujung Tobu), yang biasanya dilakukan diakhir bulan Ramadhan yang di lakukan oleh setiap rumah-rumah masyarakat di negeri Luhu, kemudian terdapat juga Tehuhuna besar (ujung tobu besar) yang dipusatkan pada jalan rumah tau marga/vam Makatita.
Acara adat lainnya yang masih menjadi tradisi masyarakat Luhu adalah Tukanga Situlu yaitu tradisi pembersihan masjid menjelang minggu terakhir masuk bulan Ramadhan/puasa dimana masyarakat bersama-sama saling bahu-membahu. Sanile Hena, adalah kumpulan masyarakat negeri sesudah 7 hari setelah idul fitri. Setelah itu ada pertunjukan seni budaya tari  berupa: Tarian cakalele dan tiup tahule (kulit Bia/kerang), Tarian Loi Parise (tarian selamat datang), Tarian Loi Manur (tarian Bunga/Kemenangan), Tarian Toto buang (pukul Tifa, penjemputan tamu), Tarian Loi Sawate (Tari sawat). Berbagai tradisi dan kesenian di negeri Luhu tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang senantiasa menjaga keharmonisan dalam ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang erat.
Kapata dan Pasawali: Cerita Tutur di Negeri Luhu
Di negeri Luhu, sebelah barat pulau Seram, terdapat tradisi-tradisi yang masih dijaga oleh masyarakat. Penyambutan Tamu, Melihat Bulan, Tehuhuna, Pipi Warane, Oholangka, Semile Hena, Tukanga Situlu –deretan nama ini merupakan ritus-ritus yang masih dilakukan hingga sekarang. Keenam ritus terakhir merupakan ritus yang berkaitan dengan hari-hari suci Islam, sementara ritus pertama merupakan upacara penyambutan tamu yang disertai tari-tarian adat. Tidak hanya itu, terdapat juga tradisi lisan atau cerita rakyat yang disampaikan pada setiap kali ritus-ritus dilakukan, yaitu Kapata dan Pasawali. Namun frasa tradisi lisan kurang pas untuk digunakan pada tradisi ini. Kapata dan Pasawali memiliki kekhasan tersendiri sehingga, sebutan yang pas untuk penamaan tradisi tersebut adalah sastra lisan.
Kapata dan Pasawali sebagai sastra lisan dibenarkan jika merujuk pada diktat Suripan Sadi Hutomo tentang studi sastra lisan. Kapata dan Pasawali memiliki unsur estetis tersendiri sebab Kapata dan Pasawali diiramakan menggunakan bahasa daerah Luhu, yaitu bahasa Tanah, yang pada titik tertentu memperkuat kekhasannya. Kapata dan Pasawali juga memiliki unsur intrinsik jika merujuk pada karya sastra tulis. Misalnya pembaitan, rima, alur, plot, tokoh, setting dan metafora dalam puisi dan prosa. Melihat sastra dengan merujuk pada tetek-bengek definisi sastra menurut A Teuw yang kaku, yang membaku, yang membelenggu, dan yang membatu untuk menelaah sastra, akan berujung pada pengerdilan nilasi sastra sebagai proyek kebudyaan.
Sastra lisan Negeri Luhu berbeda dengan sastra lisan negeri-negeri lain pulau Seram yang cenderung pendek, berkisar dua sampai 13 baris. Sastra lisan negeri Luhu terbilang panjang, mulai dari 5 hingga 26 baris. Sastra lisan di negeri-negeri lain pulau Seram juga hanya berupa Kapata, sementara di Negeri Luhu terdapat Pasawali yang menambah khazanah sastra lisan Negeri Luhu. Namun secara umum Kapata dari Negeri-negeri di Pulau Seram memiliki kesaman saat penyampaian, yaitu disampaikan dalam ritus-ritus tertentu dengan cara diiramakan. Sayangnya Kapata dan Pasawali Negeri Luhu “tidak sempat” masuk dalam lingkup penelitian Balai Pengkajian Nilai Budaya Provinsi Maluku dan Maluku Utara.
Walaupun Kapata dan Pasawali merupakan sastra lisan, keduanyatra lisanngsi dan isi besar.npat juga Pasawali yang menambah kekhasan sastra lisan Luhu. ritus pertamakeduanya memiliki fungsi dan isi yang berbeda. Kapata digunakan sebagai penyemangat masyarakat untuk membangun atau memperbaiki Negeri Luhu. Sementara Pasawali digunakan sebagai pemanggil masyarakat untuk berkumpul dan penghormatan terhadap Raja, Tetua Adat, Roh-hoh leluhur, dan orang-orang penting lainnya dalam masyarakat. Namun keduanya terkdang dikaburkan dan dianggap memiliki fungsi yang sama oleh beberapa masyarakat. Hal ini dimungkinkan dari penyampaian Kapata dan Pasawali yang diiramakan.
Secara teoretis Kapata dan Pasawali terbagi dalam dua bagian umum dan dua genre khusus dalam kajian sastra lisan. Pada bagian umum keduanya terbagi menjadi sastra lisan yang bercerita dan sastra lisan yang bukan cerita. Semantara pada bagian genre, Kapata termasuk dalam genre legenda (legends) pada bagian umum sastra lisan yang bercerita dan Pasawali termasuk dalam genre ungkapan (folk speech) pada bagian umum sastra lisan yang bukan cerita. Keduanya memiliki isi yang berbeda berdasarkan pembagian di atas.
Dinamika Peradaban Islam
Negeri Luhu berada pada tatanan kerajaan Huamual, dimana dalam sistem kepemerintahannya pra-demokrasi dapat dilirik dari sistem pengangkatan seorang raja atau upulatu (sebutan pemimpin negeri) yang dilaksanakan berdasarkan peraturan adat. Pengangkatan ini biasanya dilaksanakan dengan menunjuk dua marga dari duabelas marga yang ada di negeri Luhu sebagai calon raja. Dua marga ini disebut dengan soa paranteh atau mata rumah paranteh yang terdiri dari marga Kaliky dan marga Payopo. Sistem pengangkatan raja dengan mengambil calon dari dua marga ini memang sudah menjadi warisan leluhur di Negeri Luhu, dimana dalam proses pengangkatan ini melibatkan dua marga, yakni Kaliky dan Payopo.
Pengangkatan seorang raja dilakukan dengan mengumpulkan dua marga (marga Kalikiy dan marga Payopo) tersebut untuk melaksanakan musyawarah dengan tujuan mengetahui siapa yang layak dan pantas menjadi seorang raja atau upulatu. Dalam musyawarah  ini, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi calon dari dua marga untuk menjadi seorang raja, yakni;
1.      patut dan taat pada agama Islam,
2.      memiliki garis keturunan yang bersih, memahami ajaran Islam,
3.      dan faham tentang sejarah.
Pada sistem atau proses pengangkatan raja, terlihat bahwa ada dua unsur yang berbeda namun saling berdampingan dengan tidak membuat kesinambungan satu sama lain, yakni sistem adat dan ajaran Islam, kedua unsur ini pula saling mendukung satu sama lain. Adat merupakan suatu kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma-norma budaya maupun hukum, serta suatu aturan yang dapat mengikat masyarakat dalam ranah interaksi sosial sehingga dapat menjadi sistem yang terus menerus dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan Islam ialah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. dengan berpedoman pada Al-Qur’an yang diturunkan melalui wahyu Allah lalu kemudian diturunkan ke dunia, lalu kemudian ajaran ini senantiasa hingga turun temurun menjadi suatu hal yang bersifat larangan, anjuran, kewajiban, serta unsur kemaslahatan sosial.
Sistem adat yang dianut oleh negeri Luhu dalam proses pengangkatan seseorang menjadi raja ini ternyata terdapat ajaran Islam yang memang tidak bisa menepi, bahkan menjadi satu kesatuan yang tidak mencukil sistem pemerintahan dengan adat tersebut. Dengan sistem seperti ini terlihat bahwa ajaran Islam tersebut merupakan salah satu unsur penting dalam sistem kepemerintahan negeri Luhu, seperti halnya dalam sistem penilaian menjadi seorang raja tersebut terdapat syarat-syarat yang mengataskan ajaran Islam, yakni seorang raja harus patut dan taat pada agama Islam, memiliki garis keturunan yang bersih, memahami ajaran Islam.
Syarat-syarat tersebut memang menjadi hal yang wajib berlaku bagi calon yang akan menjadi raja dari kedua marga tersebut (marga Kaliky dan Payapo), karna dengan sistem seperti ini, dengan menjadi raja itu tidak hanya akan berfikir tentang bagaimana mengatur sistem kepemerintahannya, akan tetapi di sisi lain pula ia harus menjadi ujung tombak yang harus mampu menjadi contoh untuk rakyatnya dalam hal memahami ajaran Islam. Tidak luput demikian, raja pun tidak hanya harus mampu sebagai imam untuk rakyat, akan tetapi juga harus mampu sebagai imam dalam hal ibadah seperti imam sholat berjamaah, sholat jum’at, maupun sebagai khatib nantinya.
Pada masa kerajaan Huamual Mesjid sudah dibangun dan digunakan untuk tempat pelaksanaan ibadah, namun bencana kebakaran yang melanda pada saat itu sehingga masjid tua ini pun  mengalami kerusakan yang begitu farah. Untuk tahapan selanjutnya masyarkat Luhu yang memiliki 12 marga mereka berunding untuk membicarakan pembangunan masjid ini kembali, akhirnya pada tahun 1907 masjid ini dibangun untuk yang kedua kalinya dengan berunding kepada seluruh masyrakat agar memberikan dana sukarelawan untuk pembangunan masjid, dan masjid tua ini sudah berumur sekitar 93 tahun.  Masjid ini memiliki ciri khas tersendiri yaitu di tiang alif masjid ini terdapat lambang rempah-rempah khas di  wilayah luhu yaitu cengkeh, pala, lada, dan sagu.
Tempat ibadah yang ada di Luhu sungguh sangat menarik  perhatian umum dikarenakan ada perbedaan yang terdapat secara signifikan yaitu,  mengenai   tempat pelaksanaan ibadah antara orang laki-laki dan perempuan itu dipisahkan. Tidak seperti biasanya yang kita temui diwilayah-wilayah lain yaitu mengenai penggabungan antara tempat ibadah laki-laki dan perempuan, biasanya dilaksanakan di dalam satu tempat hanya saja ada pemisah atau batasan yang biasanya di batasi dengan kain pembatas  agar jarak laki-laki dan perempuan itu bisa seimbang. Masjid yang ada wilayah Luhu ini atau biasanya disebut masjid Jami’, digunakan sebagai tempat pelaksanaan ibadah untuk orang laki-laki sementara di mushola itu digunakan sebagai tempat pelaksanaan ibadah kaum perempuan. Letaknya masjid dan mushola  ini saling berdampingan, namun tata cara pelaksanaan shalat fardu yang biasa dilakukan itu tetap sama seperti yang dilakukan oleh umat muslim diseluruh penjuru dunia, yang dimana imam shalat itu tetap dipimpin oleh kaum laki-laki. 
Gambar 7. Masjid Jami’ Luhu
Hukum Adat
Hukum  adat  pertama  kali  digunakan  oleh  Prof. Snouck Hurgroune (1894), sebelum  istilah  sebelum  istilah  hokum  adat  berkembang,  Hurgrounje dalam  bukunya  atjehers  (aceh)  pada  tahun  1893-1894  menyatakan  bahwa  hokum  rakyat  Indonesia  yang  tidak  dikodefikasi  adalah  atjehers. Menurut  kamus  besar  bahsa  Indonesia  adat  adalah  perbuatan  yang  lazim  atau  turut  di  lakukan  sejak  dahulu  kala  yang  sudah  menjadi  kebiasaan.  Wujud  gagasan  kebudayaan  yang  terdiri  atas  nilai-nilai  budaya,  norma,  hokum,  dan  aturan  satu  dan  lainnya  berkaitan  menajadi  suatu  system.  Hokum   adat   itulah  yang  mengikat  segalah  kehidupan  kemasyarakatan  sebagai  masyarakat  atau  negeri  yang  beradat.
Adapun sanksi hukum adat Negeri luhu sebagai berikut, pertama;  Sasi Negeri/sasine, upulatu mengangkat beberapa orang untuk menjadi kewang atau mandor jaga disaat negeri atau alupu hena dengan kesepakatan bersama. Kewang terbagi atas dua bagian yaitu: Kewan Laut, Kewang Darat.  Sementara iu hukum cambuk Biasanya diganjarkan pada masyarakat baik tua maupum muda, pria atau wanita, seseorang maupun kelompok yang melanggar aturan-aturan adat yang ditetapkan lewat rapat negeri/alupu hena seperti:Pencurian, Pemerkosaan/pencabulan,  Minum minuman keras. Apabila hukuman cambuk yang telah diancurkan kepada mereka yang melenggar atura-aturan adat yang sudah tentu tidak sesuai dengan norma-norma agama yang telah berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu lagi.
C.    Pengembangan Potensi Sosial Ekonomi Kekinian
Petani dan Penentuan Harga Cengkeh di Masa Mendatang
Perkebunan cengkeh dapat dipanen dan dipetik setelah enam tahun dan mulai dari pembibitan. Selanjutnya akan berbuah terus menerus setiap tahunnya. Untuk proses pembuahan mulai dari munculnya kuncup atau sering disebut muluburung selama kurang lebih tiga bulan akan tumbuh akar bercabang atau anakan. Selanjutnya dalam tiga bulan akan mulai tumbuh buah kecil yang biasa disebut taitikus karena bentuknya yang sangat kecil. Lalu kurang lebih tiga bulan akan tumbuh bunga, dan sudah siap untuk dipanen tepat waktu, karena jika cengkeh yang berbuah lambat dipanen akan muncul anakan yang baru lagi.
Pada jalur  pemasaran cengkeh di Negeri/Desa Luhu, Kab. Seram Bagian Barat, Prov. Maluku  yaitu mulai dari petani cengkeh – pedagang pengumpul Negeri/Desa Luhu – pengumpul kota ambon – pengusaha. Dengan jalur seperti itu terkadang pedagang pengumpul membeli cengkeh dari petani dengan harga yang sangat lebih murah dari harga yang diberikan oleh pengusaha, itu dikarenakan pedagang ingin mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
            Harga komoditas cengkeh petani di Negeri Luhu di tentukan oleh harga pembeli.  Petani cengkeh hanya mengikuti perkembangan harga dari pabrik penerima cengkeh.  Bila perusahaan penerima cengkeh bertahan, harga dari petani juga bertahan.  Jadi petani cukup mengikuti harga yang telah ditentukan pasar.  Harga pembelian produksi cengkeh di Negeri Luhu itu bervariasi berdasarkan proses kualitas. Selain itu juga ditentukan kebutuhan industri (pabrik) rokok di pulau jawa misalnya. Jika produksi cengkeh itu jumlahnya banyak seperti saat panen raya harganyapun otomatis rendah.  Dan jika produksi cengkeh itu sedikit maka hargapun bisa naik namun variasi harga pembelian cengkeh produksi petani ditentukan sesuai proses kualitas.


Gambar 8. Proses Pengumpulan dan Penjemuran Cengkeh oleh Petani di Luhu
Namun terkadang petani sendiri yang mengantarkan hasil  panen cengkeh ke Kota Ambon untuk dijual kepada pengusaha pengumpul dengan pertimbangan tertentu. Harga beli dari pengusaha pengumpul petani sangatlah standar. Dan harganya juga tidak stabil berkisaran Rp.100.000 perkilo untuk cengkeh kering.  Sedangkan cengkeh basah dihitung menggunakan kaleng takaran (cupa),harga satu cupa untuk cengkeh basah berkisar Rp.6.000. Untuk hitungan empat belas cupa sama dengan 1kg. Dalam lima tahun terakhir harga cengkeh mengalami kenaikan pada tahun 2016 yaitu kisaran harga Rp.120.000. Harga cengkeh sendiri tidak stabil, tergantung permintaan pasar, selain itu juga dipengaruhi oleh kenaikan atau penurunan mata uang asing.
Hal lain yang menjadi persoalan naik turunnya harga cengkeh adalah faktor cuaca, mengapa demikian karena apabila musim hujan petani sulit untuk menjemur cengkeh, sehingga petani memasak cengkeh dengan air laut tentu hal ini membuat harga beli cengkeh rendah, sedangkan saat musim kemarau petani dapat langsung menjemur cengkeh dengan sinar matahari dan harganyapun jelas lebih mahal. Sedangkan harga cengkeh ditentukan oleh pembeli atau pengusaha pengumpul bukan dari petani. Hal ini sangat merugikan para petani karena tidak sesuai dengan pengeluaran biaya panen petani.
Setiap petani mengharapkan hasil panennya selalu berhasil dan mendapatkan hasil panen atau produksi yang jumlahnya besar dan pada akhirnya juga mengharapkan suatu keuntungan yang besar pula apabila hasil produksi itu mereka jual. Untuk mengharapkan hasil produksi yang melimpah tentunya bukanlah suatu hal yang mudah, karena para petani harus dibekali pengetahuan dan pengalaman dalam bercocok tanam.  Dilihat dari harga beli cengkeh dari petani yang sangat murah apakah sudah memberi keuntungan yang layak bagi petani? Kerena dilihat dari sisi biaya produksi cengkeh, petani harus mengeluarkan banyak biaya seperti biaya tenaga kerja, transportasi, karung, tali raffia, retribusi dan bongkar muat. Hal seperti itu yang biasanya menjadi pertimbangan harga jual. Namun kenyataannya yang ditemukan di Negeri/Desa Luhu harga beli cengkah dari petani di tentukan oleh pembeli, tentu saja hal itu tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan petani dalam hal produksi cengkeh.
Pengelolaan Pala dan Proyeksi Pasar di Masa Yang Akan Datang
Penghasil buah pala di Indonesia pertama kali ditemukan ada di kepulauan Banda, Maluku. Namun, dalam artikel ini penulis akan membahas buah pala yang ada di Pulau Seram tepatnya di Negeri Luhu. Negeri luhu dikenal akan cengkeh yang melimpah dan kualitas yang bagus, bukan hanya cengkeh saja Negeri Luhu juga menghasilkan buah pala. Penanaman buah pala dan cengkeh pada umumnya sama, namun penanaman cengkeh lebih mudah dibandingkan pala ujar masyarakat setempat. Karena pala memiliki tingkat keberhasilan yang kurang stabil, bisa dikatakan 100 buah pala yang ditanam hanya 50 diantaranya yang hidup/berbuah. Memasarkan sebuah produk tidak semudah dibayangkan, kita harus mengetahui produk apa yang akan diproduksi, bagaimana memproduksinya dan untuk siapa produk tersebut diproduksi. Ada beberapa strategi yang harus kita lakuan salah satunya yaitu strategi empat p (produc, price, place, promotion).

Promosi (promotion), Promosi juga sangat berpengaruh dalam memasarkan suatu produk. Karena dengan tahap promosi lah kita bisa memperkenalkan produk kita dengan masyarakat. Namun promosi yang bagaimana dulu. Mempromosikan produk banyak cara yang dilakukan baik melalui mulut ke mulut, iklan, media dan lain-lainBerikut gambaran umum memasarkan produk dengan menggunakan strategi empat p untuk asumsi yang akan datang. Produk (product); Dalam hal ini kita sudah mengetahui produk apa yang akan kita produksi. Produk yang akan kita produksi yaitu buah pala. Dunia sekarang ini sudah sagat canggih, kita bisa menggunakan teknologi yang bisa menunjang kegiatan produksi produk kita. Biasanya buah pala digunakan untuk msakan, manisan dan sebagainya. Jadi, dengan menggunakan teknologi, maka msyarakat negeri luhu bisa langsung memproduksi bahan mentah menjadi bahan jadi. Dan langsung menjual produk jadi tersebut bukan bahan mentah lagi.
Harga (price); Setelah produk jadi, maka langkah selanjutnya yaitu menentukan harga produk, banyak aspek yang perlu kita perhatikan seperti menetapkan harga berdasarkan biaya yang dikeluarkan oleh produk, menetapkan harga sesuai harga pasar dan penetapan harga berdasarkan permintaan konsumen. Tempat (place); Memasarkan sebuah produk harus memperhatikan tempat yang sesuai untuk produk yang akan kita pasarkan, misalnya memasarkan produk pala (manisan) maka kita harus menentukan tempat yang sesuai dalam memasarkan manisan tersebut seperti mencari tempat yang strategis, dekat dengan jalan raya, banyak warga, dekat dengan SDM dan lain-lain.

Gambar 9. Kebun, Pohon, Bua, dan Pala Kering di Luhu
Pengelolaan Sagu dan Konsep Ekonomi Kerakyatan
Sagu dikenal sebagai primadona produk hortikultura di tanah Maluku, terlebih di Negeri Luhu, yang sering dimanfaatkan langsung oleh penduduk sebagai makanan pokok, maupun diolah menjadi produk olahan makanan khas di negeri ini. Dimana, sebelum sagu dapat dikonsumsi, sagu harus diproduksi terlebih dulu menjadi tepung sagu. Di Negeri Luhu sendiri, produksi tepung sagu dikerjakan oleh 2-3 orang di awa (tempat produksi) yang berdasarkan kebiasaan di negeri ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Secara umum proses produksi sagu di Luhu (secara tradisional) dimulai dari proses pemotongan pohon sagu (lapia), yang dilanjutkan dengan proses pemarutan batang sagu (ue lapia) dengan memakai nani/uete selama kurang lebih 1 jam/batang sagu, kemudian hasil parutan tersebut diangkat ke tempat penyaringan dengan sahaane dan disaring dengan kain amutee dan hahehulu, dimana air hasil penyaringan tersebut akan tertampung di sumbu maupun di awa dan sisanya akan dibuang melalui awakulu, hasil penyaringan tersebut akan diendapkan selama 5-6 hari, sehingga  dihasilkanlah sari tepung sagu murni (keras) yang ditampung di sumbu dan sari tepung sagu halus di awa.
Selanjutnya sari tepung sagu murni dimasukkan kedalam tempat fermentasi (late) dengan sendok khusus (sasui) dan dibungkus dengan daun sagu hingga menjadi sebuah tumang, sedangkan sisa yang masih ada dari tepung sagu murni dicampur dengan tepung sagu halus, setelah itu akan difermentasikan selama 2-3 hari sampai diperoleh tepung sagu yang siap dijual maupun diolah lagi. Lebih uniknya seluruh proses produksi dari awal sampai akhir menggunakan alat-alat yang dibuat dari pohon sagu itu sendiri, tidak terkecuali tempat produksinya (awa). Selain itu di negeri ini akan selalu terdengar nyayian khas yang mengiringi selama proses pemarutan batang sagu. Nyayian berjudul “SOKE-SOKE”.

Berbicara mengenai Demokratisasi Ekonomi di Negeri Luhu, tentu saja tidak akan pernah lepas dari hal penguasaan ataupun pendayagunaan kearifan lokal (local wisdom), terutamanya Sumber Daya Alam (SDA). Kearifan lokal seperti rempah-rempah, baik itu pala, cengkeh dan lada, sudah menjadi andalan SDA negeri ini sejak ratusan tahun yang lalu. Kondisi tanah dan iklim yang cocok, membuat tanaman rempah-rempah ini tumbuh subur di negeri ini sepanjang tahun, yang dimana membuat rempah-rempah ini menjadi salah satu mata pencaharian pokok rakyat Luhu sampai sekarang. Akan tetapi perlu disikapi bahwa local wisdom di Luhu tidak hanya terbatas pada hasil rempahnya saja.
Salah satu hasil bumi Negeri Luhu yang tentu saja sangat mendukung terhadap perkembangan Demokratisasi Ekonomi ialah sagu, dikarenakan rakyat Luhu sudah mengolah primadona hortikultura ini sejak dulu, bahkan hampir semua penduduk di Luhu memiliki lahan sagu untuk diusahakan. Hal tersebutlah yang menjadi alasan mengapa sagu di Negeri Luhu dapat dikatakan sebagai “Tanaman Rakyat”. Yang menjadi keunikan tersendiri di negeri ini adalah bahwa adanya aturan adat yaitu Sasi Negeri/Sasine dalam bentuk sasi sagu, yang memagari Demokratisasi Ekonomi berbasis kearifan lokal (sagu) di Luhu. Seperti yang telah dijelaskan diatas, penerapan sasi sagu (sagu negeri dan sagu orang/individu) bertujuan untuk menjaga kelestarian pohon sagu (lapia) dan untuk mengontrol/meminimalisir penurunan perekonomian rakyat, khususnya petani sagu di Negeri Luhu.

Gambar 10. Pengolahan dan Pengemasan Sagu di Luhu
Pasar dan Pelabuhan dan Dinamika Budaya Agraris dan Maritim
Ketika menyebutkan maritim maka terngiang dalam kepala pelabuhan, perkapalan, hasil laut dan lain hal. Maka lahirlah sebuah tempat yang menjadi pertemuan kedua budaya ini untuk saling memfasilitasi yaitu pelabuhan. Ditempat ini semua hal berkumpul, komoditi, pedagang, nelayan, para petinggi, serta para. Dalam bukunya yang berjudul Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17 Lapian,A.B menyebutkan Ramai tidaknya pelabuhan tergantung dari beberapa faktor, diantaranya yang penting sekali adalah faktor ekologi, pelabuhan bukan saja tempat berlabuh tetapi tempat bagi kapal dapat berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar, angin arus yang kuat seperti yang tersirat dalam kata harbour(Inggris) dan haven(Belanda).
Negeri Luhu merupakan pusat bagi anak-anak desa negeri luhu untuk menjual komoditi baik hasil hutan maupun laut luhu. Hasil-hasil ini bukan berarti tidak dijual di kota besar seperti ambon. Dalam hal penjualan hasil alam, beberapa anak desa luhu banyak yang singgah dan melakukan transaksi di pelabuhan, transaksi ini tidak dalam jumlah besar, ketika akan menjual dalam jumlah besar mereka akan langsung mengirim ke kota besar untuk mendapatkan harga yang lebih. Namun, hal ini secara tidak langsung melekat dalam memori setiap masyarakatnya untuk tidak langsung menjual ke ambon. Tetapi mereka lebih mengutamakan menjual hasil bumi huamual ke ibukota negeri luhu, ketika tidak habis barulah dijual ke ambon dalam artian yang dapat kita tangkap hasil dalam jumlah besar akan dibawa keluar. Hukum jual beli ini tidak lah tertulis secara langsung, secara sadar mereka tetap melakukan hal ini secara terus menerus.



Gambar 11. Gambaran Pasar dan Pelabuhan di Luhu
Pada masa panen Raya Cengkeh, dalam wawancara bersama pak yusuf, hal ini mengundang banyak orang untuk berdatangan dan merasakan nikmatnya berkah yang diberikan. Para pedagang bugis yang berdatangan untuk membawakan komoditi cengkeh dari luhu untuk ke wilayah lain dengan harga yang lebih lumayan. Orang-orang dewasa memamanjat untuk melakukan panen bersama anak muda. Para ibu-ibu yang membuat makanan untuk para pekerja.

Pengembangan Ekowisata
Setelah berkeliling untuk melakukan riset dari berbagai hal, baik itu dari segi sejarah, ekonomi dan hasil rempah, budaya, agama, bahasa dan lain sebagainya saya tertarik untuk menulis objek wisata dan situs sejarah di Negeri Luhu. Pada kesempatan kali ini, tulisan saya akan membahas tentang tempat-tempat yang harus dikunjungi ketika kalian ke Negeri Luhu. Beberapa diantaranya adalah: Gua Tujuh Pintu, Gunung Malintang, Benteng Overburg, Rumah Raja Palisoa, Makam Raja Gimalaha Tuban, Pantai Selahuse dan Batu Kapal. Beberapa obyek yang disebutkan tersebut, merupakan potensi lingkungan dan budaya yang layak dikembang dan dikelola sebagai obyek ekowisata tourism dan wisata budaya yang ramah lingkungan di masa yang akan datang.
                                 
Gambar 12 : Kapal Batu
Gambar 13 : Situs Goa 7 (tujuh) Pintu
PENUTUP
            Negeri Luhu sebagai pusat Kerajaan Huamual pada masa lalu, merupakan sebuah negeri di wilayah Pulau Seram, Maluku memberikan pelajaran penting tentang dinamika peradaban dan budaya di Nusantara. Dalam arus sejarah dan budaya, Negeri Luhu memberikan gambaran potensi sebuah wilayah dengan kekayaan maritim dan agrarisnya. Sejarah membuktikan, bahwa Negeri Luhu, memiliki peran penting sebagai penghasil rempah-rempah, yang menyebabkan pertemuan berbagai bangsa asing seperti Cina, Arab dan Eropa serta pedagang nusantara, Jawa dan Sumatra, selain berhubungan pula dengan pusat kekuasaan Ternate dalam jaringan niaga di wilayah Kepulauan Maluku dengan wilayah luar. 
            Dalam arus sejarah, jejak kekayaan rempah di Negeri Luhu, menggambarkan simpul budaya agraris dan maritim, Kepulauan Maluku dan Nusantara. Persentuhan dengan berbagai budaya luar yang terintegrasi dalam proses panjang sejarah peradaban di Negeri Luhu dan Kerajaan Huamual, mencakup pula wilayah-wilayah pengembangan di sekitarnya. Dinamika sejarah dan budaya tersebut memberikan pelajaran berharga, bagi generasi Negeri Luhu khususnya, dan wilayah Kepulauan Maluku dan Nusantara pada umumnya, tentang kekayaan budaya yang lahir dari berbagai persentuhan berbagai budaya yang terintegrasi di dalamnya. Dalam perkembangannya, kekayaan tradisi dan budaya yang dapat dijumpai sekarang seperti tradisi Islam dan tradisi lokal, merupakan bagian dari proses yang menyejarah. Demikian pula potensi kekayaan rempah yang lestari hingga kini, juga bagian dari proses sejarah pengelolaan rempah sejak masa lalu. Oleh karena itu, pengelolaan potensi kekayaan alam, khususnya rempah-rempah dan kekayaan sumber produksi lainnya seperti sagu merupakan potensi ekonomi yang penting dikembangkan untuk masyarakat di masa mendatang.  

Komentar

  1. Sebelum kedatangan bangsa portugis, spanyol dan Belanda Negeri Luhu berada dalam bingkai kerajaan Huamual dari 99 Negeri di semenanjung Jazirah Huamual. Perang Huamual berkobar di tahun 1602-1651 (50 Tahun Perang Huamual) telah membumihanguskan 98 negeri dan tinggal satu-satunya negeri yaitu Negeri Luhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cerita sejarah yang baik,slalu berkarya kalifah ke 6 siapa kalu kmu susun sejarah seperti itu trus orang"yang dari bagdar siapa dan marga nya sapa,kapitatahane marganya apa aslinya dari mana yang perna kuasai pulau seram,coba sebutkan nama"nya.jangan rekayasa sejarah.luhu masuk abad ke barapa iha masuk abad ke berapa sedangkan Kambelo abad ke berapa.dlm buku sajarah 99 negri bukan 98 kamu cerita sejarah yng baik,,,kenapa ada kasturian d Luhu dan marga itu aslinya dari mana.sudara saya orang Luhu tapi sejarah yang pas itu ada di Kambelo.

      Hapus

Posting Komentar

berkarya itu bebas!
bebas dari kecurangan dan hal yang merugikan

Postingan populer dari blog ini

MA SAPA SUKUR ELA-ELA, WAU BASUDARA NE HENA SEBUAH CATATAN PERJALANAN DI MALUKU